Senin, 18 Februari 2013

KAJIAN KEBUDAYAAN MANUSIA PASCA MODERN


Nama             : Mutia Handayani
NPM               : 35412173
Kelas              : 1ID01



Pengertian Pascamodern
Istilah pascamodern telah digunakan dalam banyak bidang kehidupan dengan gencar. Istilah ini banyak dibicarakan orang, namun dengan persepsi yang berbeda-beda. Ia digunakan orang di berbagai bidang dengan mencengangkan, namun maknanya menjadi kabur.
Istilah pascamodern digunakan dalam bidang musik, seni rupa, fiksi, drama, fotografi, arsitektur, kritik sastra, antropologi, sosiologi, geografi dan filsafat.
Istilah pascamodern muncul pertama kali di wilayah seni. Menurut Hassan dan Jencks istilah ini pertama-tama dipakai oleh Federico de Onis pada tahun 1930-an dalam karyanya, Antologia de la Poesia Espanola a Hispanoamericana, untuk menunjukkan reaksi yang muncul dari dalam modernisme. Kemudian di bidang historiografi oleh Toynbee dalam A Study of History (1947).
Di sini istilah itu merupakan kategori yang menjelaskan siklus sejarah baru yang dimulai sejak tahun 1875 dengan berakhirnya dominasi Barat, surutnya individualisme, kapitalisme dan Kekristenan, serta kebangkitan kekuatan budaya non Barat. Disinggung pula di sana tentang pluralisme dan kebudayaan dunia, hal-hal yang masih esensial dalam pengertian tentang pascamodern masa kini.
Dalam bidang sosial ekonomi istilah pascamodern diartikan sebagai kian berkembangnya kecenderungan-kecenderungan yang saling bertolak belakang, yang bersama dengan makin terbebasnya daya-daya instingtif dan kian membumbungnya kesenangan dan keinginan, akhirnya membawa logika modernisme ke kutub terjauhnya. Itu terjadi terutama melalui intensifikasi ketegangan-ketegangan struktural masyarakat.
Di bidang kebudayaan, pascamodern diartikan sebagai logika kultural yang membawa transformasi dalam suasana kebudayaan umumnya. Pascamodern dimulai dalam tahapan dengan kapitalisme pasca Perang Dunia kedua. Pascamodern muncul berdasarkan dominasi teknologi reproduksi dalam jaringan global kepitalisme multinasional kini.
Istilah pascamodern di bidang filsafat menunjuk pada segala bentuk refleksi kritis atas paradigma-paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya.
Di bidang kemasyarakatan (sosiologi) secara umum pascamodern diartikan sebagai pola pikir manusia yang bergeser dari masyarakat industri menjadi masyarakat informasi.


Sebab-Sebab Timbulnya Pascamodern
Era pascamodern muncul dengan sendirinya. Ada berbagai faktor yang mempengaruhi pemunculannya. Secara ringkas faktor-faktor itu dapat disebutkan antara lain:
1. Pandangan Dualistis
Telah tumbuh subur pandangan dualistis yang membagi seluruh kenyataan menjadi subjek dan objek, spiritual material, manusia dunia, dan sebagainya. Hal ini telah mengakibatkan objektivisasi alam secara berlebihan dan pengurasan alam semena-mena. Akhirnya mengakibatkan krisis ekologi.
2. Pandangan Modern
Pandangan modern yang objektif dan positif akhirnya cenderung menjadikan manusia seolah objek juga, dan masyarakat pun di rekayasa bagaikan mesin saja.
3. Krisis Moral dan Religi
Dalam modernisme ilmu-ilmu positif empiris mau tak mau menjadi standar kebenaran tertinggi. Akibat dari hal ini adalah bahwa nilai-nilai moral dan religius kehilangan wibawanya. Alhasil timbullah disorientasi moral religius, yang pada gilirannya mengakibatkan pula meningkatnya kekerasan, keterasingan, depresi mental, dan sebagainya.
4. Materialisme
Bila kenyataan terdasar tak lagi ditemukan dalam religi, maka materilah yang mudah dianggap sebagai kenyataan terdasar. Materialisme ontologis ini didampingi pula dengan materialisme praktis, yaitu bahwa hidup pun menjadi keinginan yang tak habis-habisnya untuk memiliki dan mengontrol hal-hal material. Dan aturan main utamanya tak lain adalah survival of the fittest, atau dalam skala lebih besar, persaingan pasar bebas. Etika persaingan dalam mengontrol sumber-sumber material inilah yang merupakan pola perilaku dominan individu, bangsa dan perusahaan-perusahaan modern.
5. Militerisme
Oleh sebab norma-norma religius dan moral tak lagi berdaya bagi perilaku manusia, maka norma umum objektif pun cenderung menghilang. Akibatnya, kekuasaan yang menekan dengan ancaman kekerasan adalah satu-satunya cara untuk mengatur manusia. Ungkapan paling gamblang adalah militerisme dengan persenjataan nuklirnya. Meskipun demikian, perlu juga dicatat bahwa religi dapat menjadi alat legitimasi militerisme.
6. Bangkitnya Tribalisme
Telah muncul kecenderungan dalam masyarakat mentalitas yang mengunggulkan suku dan kelompok sendiri (tribalisme). Ironinya setelah perang dingin berlalu, agama menjadi kategori identitas penting yang cenderung mendukung kelompok-kelompok yang saling bertengkar, yang pada gilirannya justru mendukung tribalisme itu sendiri.

Perbedaan Modernisme Dan Postmodernisme
Pemikir evalengical, Thomas Oden, berkata bahwa periode modern dimulai dari runtuhnya Bastille pada tahun 1789 (Revolusi Perancis) dan berakhir dengan kolapsnya komunisme dan runtuhnya tembok berlin pada tahun 1989. Modernisme adalah suatu periode yang mengafirmasi keeksistensian dan kemungkinan mengetahui kebenaran dengan hanya menggunakan penalaran manusia. Oleh karena itu, dalam arti simbolik penalaran menggantikan posisi Tuhan, naturalisme menggantikan posisi supernatural. Modernisme sebagai pengganti dinyatakan sebagai penemuan ilmiah, otonomim manusia, kemajuan linier, kebenaran mutlak (atau kemungkinan untuk mengetahui), dan rencana rasional dari social order Modernisme dimulai dengan rasa optimis yang tinggi. Sedangkan postmodernisme adalah sebuah reaksi melawan modernisme yang muncul sejak akhir abad 19. Dalam postmodernisme, pikiran digantikan oleh keinginan, penalaran digantikan oleh emosi, dan moralitas digantikan oleh relativisme. Kenyataan tidak lebih dari sebuah konstruk sosial; kebenaran disamakan dengan kekuatan atau kekuasaan. Identitas diri muncul dari kelompok. Postmodernisme mempunyai karakteritik fragmentasi (terpecah-pecah menjadi lebih kecil), tidak menentukan (indeterminacy), dan sebuah ketidakpercayaan terhadap semua hal universal (pandangan dunia) dan struktur kekuatan.

Postmodern sebagai Filsafat
Filsafat postmodern pertama kali muncul di Perancis pada sekitar tahun 1970-an, terlebih ketika Jean Francois Lyotard menulis pemikirannya tentang kondisi legitimasi era postmodern, dimana narasi-narasi besar dunia modern (seperti rasionalisme, kapitalisme, dan komunisme) tidak dapat dipertahankan lagi. Pada awalnya lahir dari kritik terhadap arsitektur modern, dan harus kita akui kata postmodern itu sendiri muncul sebagai bagian dari modernitas. Ketika postmodern mulai memasuki ranah filsafat, post dalam postmodern tidak dimaksudkan sebagai sebuah periode atau waktu, tetapi lebih merupakan sebuah konsep yang hendak melampaui segala hal modern. Konsep postmodernitas yang sering disingkat sebagai postmodern ini merupakan sebuah kritik atas realitas modernitas yang dianggap telah gagal dalam melanjutkan proyek pencerahannya. Nafas utama dari postmodern adalah penolakan atas narasi-narasi besar yang muncul pada dunia modern dengan ketunggalan terhadap pengagungan akal budi dan mulai memberi tempat bagi narasi-narasi kecil, lokal, tersebar, dan beranekaragam untuk bersuara dan menampakkan dirinya.
C.S. Lewis ketika ia berkata, ketika memperjelas pandangan Nietzsche sche “My good is my good, and your good is your good” (kebaikanku adalah kebaikanku, dan kebaikanmu adalah kebaikanmu), atau kalau orang Jakarta bilang, “gue ya gue, lo ya lo”. Jadi di sini tidak ada standar absolut tentang benar atau salah dalam postmodern.

Kritik terhadap postmodern
Meskipun postmodernisme nampak menjanjikan dan tanpa cela, terdapat beberapa celah yang bisa menjatuhkan paham ini. Salah satunya adalah kerancuan dan ketidakpastian yang melekat pada paham ini sebagai konsekuensi dari melenturnya pemikiran manusia. Beberapa pihak masih menyangkal bahwa postmodernisme, meski memberikan solusi tengah, dinilai tidak konsisten dalam memperlakukan sesuatu. Bersikap apatis dan hanya mengkritisi, kemudian lepas tangan dan merasa aman karena tidak ingin ikut campur menyelesaikan masalah. Lebih jauh lagi, dikhawatirkan paham ini akan melahirkan medioker yang hanya ikut-ikutan mengkritisi tanpa riset lebih dalam dan hipokrit yang hanya bisa mengkritisi tanpa bertindak, atau bahkan tidak mengamini dengan perlakuan terhadap apa yang telah dikritisi.
Selain itu, post modernisme dianggap tidak konsisten, meskipun post-modernisme adalah sebuah idealisme akan menyikapi hegemoni pegrerakan dunia, post modernisme itu sendiri dianggap berpegang pada sesauatu yang tidak ingin mengukuhkan pijaknnya. Paradoks yang cukup membingungkan pihak-pihak yang mungkin memerlukan kejelasan dalam bertindak. Seringkali sikap apatis dari postmodernis ditentang oleh para penganut paham modern, karena meskipun modernisme ditentang dengan keras, tetap saja menyisakan jejak atas konsepsinya mengani dunia. Tetap saja pasar bebas dan universalisme dijunjung oleh dunia ini meski jelas-jelas ditentang.
Post modernisme pun menjadi amat sangat membingungkan. Amat abu-abu. Sangat relatif dan tidak mengukuhkan diri. Berkesan selalu takut dalam menentukan pilihan dan hanya akan mengkritisi, melahirkan manusia yang pandai mengkritisi namun ragu dalam memnentukan sikap. Hanya akan mengadirkan banyak pengamat hebat, tapi ragu dalam mengambil tindakan.

Pengaruh postmodernisme pada seni rupa
Telah sedikit saya ungkap sebelumnya, postmodernisme mengafeksi aspek-aspek kehidupan scara general dan holistik, pun seni dan estetika. Pada masa modern, seni dicoba untuk dimurnikan dari distorsi-distorsi yang mungkin terjadi karena adanya implementasi dari aspek-aspek yang dahulu melebur dengan seni. Seperti tradisi dan kemasyarakatan. Seni kala itu (masa modern) meminjam konsepsi konsepi modernisme, sepeti universalisme seni, sekulerisme seni, pemurnian dan pengkerucutan seni (klasifikasi yang jelas), dan pengesklusidan seni. berangkat dari pemikiran tersebut perkembangn karya seni menjadi amat kaku. Seni amat ditinggikan dan diperuntukkan bagi kaum ningrat saja. Seni dimurnikan dan terbatas hanya pada masalah estetis saja (pada seni abstrak), tabu dalam membicarakan hal-hal yang bersifat remeh-temeh, dipisahkan dari masyarakat, menunjung orisinalitas, dan dijauhkan dari tradisi. Semua perlakuan diatas merupakan hasil dari pemikiran modernisme yang amat berpegang pada rasionalitas dan realitas, sehingga membatasi ruang berkarya. Seni terbatas pada media seni konvensional yang tinggi orisinilalitas dan amat eksklusif. Sehingga seni lukis dan patunglah yang medominasi penggunaan media pada seni rupa modern. Sedangkan seni grafis dan keramik masih berkonotasi rakyat, tidak ningrat, dianggap tidak seeksklusif media lukis dan patung, namun seiring perkembangannya, kedua media tersebut dipandang patut disejajarkan dengan media seni sebelumnya, seperti yang dilakukan Andy Warhol, yang merusak tatanan media seni tinggi dan seni rendah dengan memadukan keduanya, seperti karya silkscreenya (serigrafi kala itu diangap media rakyat) pada sebuah kanvas (yang biasa digunakan untuk melukis yang berkonotasi seni tinggi).
Dikemudian hari, paham modernisme yang terdapat pada senirupa mendapat resisitensi dari kekritisan pemikiran publik seni. pun mengungkap bahwa terjadi kesalahan pada modernisme seni ini. Hal ini juga dipengaruhi perkembangan pola pikir masyarakat global yang memasuki gerbang pemikiran filosofis yang dibawa postmodernisme. Bentuk resistensi ini pun dikenal dengan postmodernisme seni yang membawa angin segar dalam dunia seni rupa. Dengan bertambah lenturnya pemikiran publik akan seni, penggunaan media pun menjadi amat tak terbatas bahkan melampaui norma-norma etis. Post modernisme berusaha untuk meminjam pemikiran masa lalu mengenai seni, menitilkberatkan pada meleburnya seni dengan masyarakat dan tradisi. Seni diupayakan untuk kembali melebur dengan keduanya. Diangkatnya kembali isu-isu sosial dalam karya seni tentunya menambah kaya ruang lingkup batasan karya. Seni kembali berfungsi sosial dan pribadi. Seniman kembali diperbolehkan untuk menyisipkan muatan-muatan pribadi dalam karyanya. Selain itu, seni pun dianggap dapat menjadi media yang digunakan untuk mengkritisi masalah sosial yang kian rumit. Diangkatnya kembali hal-hal yang tidak general (umum) dan berskala kecil dan remeh temeh pada karya seni pun tak disia-siakan oleh para seniman untuk menuangkannya pada karya. universalisme seni pun diporak-poranda kan oleh dihalalkannya pengangkatan isu lokal pada karya seni , penanaman kearifan lokal pada karya seni merupakan dampak dari diperbolehkannya pengkaryaan tradisi yang tentu saja bersifat sangat lokal pada karya seni.
Seni pada masa post-modern kian cair dan semakin luas cakupannya, menjajal sebuah babak baru dengan tawaran kebebasan dan kemerdekaan berkarya secara menyeluruh, namun tetap saja, konsekuensi dari konsepsi dasar postmodernisme, yakni kritisisme dan budaya filosofis, menuntut riset yang kian dalam dan meyelurub dalam berkarya, sehingga karya seni dewasa ini tidak terbatas pada pemasalahan visual dan estetis saja, namun juga mengenai pertanggungjawaban gagasan yang dituangkan seniman dalam karyanya. Bahakan tak jarang, pertanggungjawaban karya lebih dipentingkan dan diutamakan. Terutama pada karya-karya seni konseptual dan eksperimental, pertanggungjawaban karya adalah hal yang paling ditamakan. Ini merupakan cerminan dari budaya filosofis dan kritis yang tadi saya utarakan.
Meskipun banyak nilai positif yang bisa dipetik dari seni postmodernisme, tetap timbul sebuah permasalahan yang cukup pelik ketika eksistensi mengenai ruang lingkup postmodernisme itu sendiri. Ketika paham ini mencoba untuk mengembalikan seni ke koridor masa lalu tapi tetap membawa pengaruh-pengaruh modernisme yang amat bertentangan dengan apa yang hendak dikembalikan. Meskipun begitu, banyak pula pemikir mengemukakan bahwa postmodernisme memang berupaya, dan mungkin baru sampai pada tahap ‘meminjam’ pemikiran-pemikiran masa lalu yag dianggap lebih baik. Belum mampu atau bahkan mungkin tidak bisa mengembalikan seni pada konespsi-konsepsi terdahulu. hal ini tercermin dari tetap digalakannya pengeksklusifan seni dan adanya profesi seniman yang notabene adalah produk modernisme. Ketika seni melebur dengan masyarakat, profesi seniman pun melebur dengannya, seniman hanyalah bagian dari masyarakat yang seyogyanya tidak menggembar-gemborkan eksistensinya, dan kemudian berujung pada kepemilikan karya seni yang seharusnya dimiliki publik, mengacu pada anonimisme karya seni pada koridor masa lalu.