Selasa, 12 Maret 2013

TULISAN


Nama  :  Mutia Handayani
NPM   : 35412173
Kelas   : 1ID01
Kasus Pelanggaran HAM Indonesia

Pertama, vonis hakim terhadap terdakwa Abilio sangat meragukan karena dalam Undang-Undang (UU) No 26/2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 37 (untuk dakwaan primer) disebutkan bahwa pelaku pelanggaran berat HAM hukuman minimalnya adalah 10 tahun sedangkan menurut pasal 40 (dakwaan subsider) hukuman minimalnya juga 10 tahun, sama dengan tuntutan jaksa. Padahal Majelis Hakim yang diketuai Marni Emmy Mustafa menjatuhkan vonis 3 tahun penjara dengan denda Rp 5.000 kepada terdakwa Abilio Soares.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgFVryAT-1-XSh5s_mB7rzyGtqHKLNrAte6nVXXlW5Jf21ZFUb_GHIO834kOSCkNnGuaqNKNB72LYc0FzNdyaDvUd_eMfNfEcH2i0Hgh0FBwpUkkhvsFwfP2_izPRizm7wcLxiO37Blcu8/s200/Kasus+Pelanggaran+Hak+Asasi+Manusia.jpg

Bagi orang yang awam dalam bidang hukum, dapat diartikan bahwa hakim ragu-ragu dalam mengeluarkan keputusannya. Sebab alternatifnya adalah apabila terdakwa terbukti bersalah melakukan pelanggaran HAM berat hukumannya minimal 10 tahun dan apabila terdakwa tidak terbukti bersalah ia dibebaskan dari segala tuduhan.Kedua, publik dapat merasakan suatu perlakuan “diskriminatif” dengan keputusan terhadap terdakwa Abilio tersebut karena terdakwa lain dalam kasus pelanggaran HAM berat Timtim dari anggota TNI dan Polri divonis bebas oleh hakim. Komentar atas itu justru datang dari Jose Ramos Horta, yang mengungkapkan kekhawatirannya bahwa kemungkinan hanya rakyat Timor Timur yang akan dihukum di Indonesia yang mendukung berbagai aksi kekerasan selama jajak pendapat tahun 1999 dan yang mengakibatkan sekitar 1.000 tewas. Horta mengatakan, “Bagi saya bukan fair atau tidaknya keputusan tersebut. Saya hanya khawatir rakyat Timor Timur yang akan membayar semua dosa yang dilakukan oleh orang Indonesia”

1. PELANGGARAN HAM OLEH TNI
umumnya terjadi pada masa pemerintahan Presiden Suharto, dimana (dikemudian hari berubah menjadi TNI dan Polri) menjadi alat untuk menopang kekuasaan. Kasus Pelanggaran HAM oleh TNI mencapai puncaknya pada akhir masa pemerintahan Orde Baru, dimana perlawanan rakyat semakin keras.

2. KASUS PELANGGARAN HAM YANG TERJADI DI MALUKU
Konflik dan kekerasan yang terjadi di Kepulauan Maluku sekarang telah berusia 2 tahun 5 bulan; untuk Maluku Utara 80% relatif aman, Maluku Tenggara 100% aman dan relatif stabil, sementara di kawasan Maluku Tengah (Pulau Ambon, Saparua, Haruku, Seram dan Buru) sampai saat ini masih belum aman dan khusus untuk Kota Ambon sangat sulit diprediksikan, beberapa waktu yang lalu sempat tenang tetapi sekitar 1 bulan yang lalu sampai sekarang telah terjadi aksi kekerasan lagi dengan modus yang baru ala ninja/penyusup yang melakukan operasinya di daerah – daerah perbatasan kawasan Islam dan Kristen (ada indikasi tentara dan masyarakat biasa).

Penyusup masuk ke wilayah perbatasan dan melakukan pembunuhan serta pembakaran rumah. Saat ini masyarakat telah membuat sistem pengamanan swadaya untuk wilayah pemukimannya dengan membuat barikade-barikade dan membuat aturan orang dapat masuk/keluar dibatasi sampai jam 20.00, suasana kota sampai saat ini masih tegang, juga masih terdengar suara tembakan atau bom di sekitar kota.

Akibat konflik/kekerasan ini tercatat 8000 orang tewas, sekitar 4000 orang luka – luka, ribuan rumah, perkantoran dan pasar dibakar, ratusan sekolah hancur serta terdapat 692.000 jiwa sebagai korban konflik yang sekarang telah menjadi pengungsi di dalam/luar Maluku.

Semoga dengan adanya artikel kasus pelanggaran ham indonesia ini dapat bermanfaat untuk kita semua. Terlebih kepada adik-adik untuk belajar dan mengerti bagaimana kasus pelanggaran ham itu terjadi.

Sumber                        : http://www.yoedha.com/2012/01/kasus-pelanggaran-hak-asasi-manusia.html

DEMOKRASI DI INDONESIA BERDASARKAN UUD 1945, KONSTITUSI RIS 1949, DAN IMPLEMENTASINYA DARI MASA UUD 1945 (kurun waktu I) Sampai Sekarang 
  • Pengertian demokrasi pada waktu sekarang sudah dikenal dan dimengerti oleh kebanyakan orang yang hidup pada abad ke 20 sekalipun dalam pngertian yang sederhana.
  • Jika kita perhatikan lahirnya paham demokrasi adalah sebagai reaksi terhadap lahirnya kekuasaan yang sewenang-sewenang dan penguasa baik dari seorang Raja maupun yang lain.
  • Lahirnya paham demokrasi tersebut adalah untuk membatasi kekuasaan penguasa yang mutlak dan sewenang-wenang. Pembatasan tersebut dapat dengan Undang-undang Dasar atau hukum kebiasaan
  • Menurut Mirriam Budiardjo, bermacam-macam istilah demokrasi; demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila, demokrasi rakyat, demokrasi sosial, demokrasi nasional. Tetapi diantara sekian banyak aliran tersebut hanya ada dua kelompok yang paling penting, yaitu demokrasi konstitusional dan satu kelompok yang menamakan "demokrasi" tetapi pada hakekatnya mendasarkan dirinya atas komunisme ( Mirriam Budiardjo, 1983:31).
  • Pada abad ke 19 atau permulaan abad ke 20 usaha-usaha untuk membatasi kekuasaan pemerintahan negara tersebut secara yuridis oleh para sarjana Eropa kontinental disebut dengan istilah rechsstaat (negara hukum), sedangkan oleh para sarjana Anglo Saxon disebut dengan istilah Rule Of Law, kemudian Friederich Julius Stahl menyatakan adanya empat unsur rechtsstaat dalam arti klasik, yaitu; hak-hak manusia, pemisahan atau sebagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu (trias politica), pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan dan peradilan administrasi dalam perselisihan
  • Unsur-unsur Rule Of Law dalam arti klasik, seperti yang dikemukakan oleh AV Dicey meliputi; Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law), tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitracy) power) dalam arti bahwa seorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum, kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (squality before the law, Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain oleh UUD) serta keputusan-keputusan Peradilan.
  • Implementasi demokrasi di Indonesia dari masa UUD 1945 kurun waktu I (18 Agustus 1945 sampai dengan sekarang) dapat dibedakan sebagai berikut:
a.       Pada masa UUD 1945 kurun waktu I (18 Agustus 1945-27 Desember 1949), dilaksanakan demokrasi dengan sistem pemerintahan presidensial mengalami perubahan dengan Maklumat Pemerintah 14 Nopember 1945 menjadi demokrasi dengan sistem pemerintahan parlementer;
b.      Pada masa Konstitusi RIS 1949 (27 Desember 1949-17 Agustus 1950) dan UUDS 1950 (17 Agustus 1950-5 Juli 1959), dilaksanakan demokrasi dengan sistem pemerintahan parlementer/demokrasi liberal);
c.       Pada masa UUD 1945 kurun waktu II (5 Juli 1959-Sekarang), meliputi tiga masa, yaitu:
1.      Masa Orde Lama ( 5 Juli 1959-11 1966), dilaksanakan demokrasi terpimpin dengan pelbagai penyimpangan atau penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD 1945
2.      Masa Orde Baru (11 Maret 1966-21 Mei 1998), dilaksanakan demokrasi Pancasila. Pada awal orde baru dalam rangka melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen melakukan tindakan koreksi terhadap penyimpangan-penyimpangan atau penyelewengan terhadap pelaksanaan demokrasi terpimpin pada masa orde lama. Namun pada akhir kepimpinan Soeharto telah berkuasa selama kurang lebih 32 tahun banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan atau penyelengan terhadap pelaksanaan demokrasi Pancasila yang berakibat turunnya presiden hasil sidang Umum MPR Maret 1998 (Presiden Soeharto) yang melimpahkan weweangnya kepada Wakil Presiden B.J. Habibie (presiden Baru) pada tanggal 21 Mei 1998.
Orde Reformasi (21 Mei-sekarang), demokrasi dalam proses atau demokratisasi yang oleh para ahli disebut demokrasi semu (pseudo democracy), demokrasi liberal yang belum terkonsolidasi (unconsolidated liberal democracy).
Sumber                        : http://www.ut.ac.id/html/suplemen/ppkn3301/demokrasi_di_indonesia_berdasark.htm

TUGAS


Nama : Mutia Handayani
NPM   : 35412173
Kelas  : 1ID01

Pengertian Negara

Negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut. Negara juga merupakan suatu wilayah yang memiliki suatu sistem atau aturan yang berlaku bagi semua individu di wilayah tersebut, dan berdiri secara independent.
Syarat primer sebuah negara adalah memiliki rakyat, memiliki wilayah, dan memiliki pemerintahan yang berdaulat. Sedangkan syarat sekundernya adalah mendapat pengakuan dari negara lain.
Negara adalah pengorganisasian masyarakat yang mempunyai rakyat dalam suatu wilayah tersebut, dengan sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi ini. Syarat lain keberadaan negara adalah adanya suatu wilayah tertentu tempat negara itu berada. Hal lain adalah apa yang disebut sebagai kedaulatan, yakni bahwa negara diakui oleh warganya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas diri mereka pada wilayah tempat negara itu berada.
Pengertian Negara Menurut Para Ahli
Prof. Farid S. 
Negara adalah Suatu wilayah merdeka yang mendapat pengakuan negara lain serta memiliki kedaulatan.
Georg Jellinek 
Negara adalah organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang telah berkediaman di wilayah tertentu.
Georg Wilhelm Friedrich Hegel 
Negara merupakan organisasi kesusilaan yang muncul sebagai sintesis dari kemerdekaan individual dan kemerdekaan universal
Roelof Krannenburg 
Negara adalah suatu organisasi yang timbul karena kehendak dari suatu golongan atau bangsanya sendiri.
Roger H. Soltau 
Negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat.
Prof. R. Djokosoetono 
Negara adalah suatu organisasi manusia atau kumpulan manusia yang berada di bawah suatu pemerintahan yang sama.
Prof. Mr. Soenarko 
Negara ialah organisasi manyarakat yang mempunyai daerah tertentu, dimana kekuasaan negara berlaku sepenuhnya sebagai sebuah kedaulatan.
Aristoteles 
Negara adalah perpaduan beberapa keluarga mencakupi beberapa desa, hingga pada akhirnya dapat berdiri sendiri sepenuhnya, dengan tujuan kesenangan dan kehormatan bersama.




Pengertian Bangsa

Bangsa adalah suatu kelompok manusia yang dianggap memiliki identitas bersama, dan mempunyai kesamaan bahasa, agama, ideologi, budaya, dan/atau sejarah. Mereka umumnya dianggap memiliki asal-usul keturunan yang sama. Konsep bahwa semua manusia dibagi menjadi kelompok-kelompok bangsa ini merupakan salah satu doktrin paling berpengaruh dalam sejarah. Doktrin ini merupakan doktrin etika dan filsafat, dan merupakan awal dari ideologi nasionalisme.
Pengertian Negara Menurut Para Ahli

Prof. Farid S. 
Negara adalah Suatu wilayah merdeka yang mendapat pengakuan negara lain serta memiliki kedaulatan.
Georg Jellinek 
Negara adalah organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang telah berkediaman di wilayah tertentu.
Georg Wilhelm Friedrich Hegel 
Negara merupakan organisasi kesusilaan yang muncul sebagai sintesis dari kemerdekaan individual dan kemerdekaan universal
Roelof Krannenburg 
Negara adalah suatu organisasi yang timbul karena kehendak dari suatu golongan atau bangsanya sendiri.
Roger H. Soltau 
Negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat.
Prof. R. Djokosoetono 
Negara adalah suatu organisasi manusia atau kumpulan manusia yang berada di bawah suatu pemerintahan yang sama.
Prof. Mr. Soenarko 
Negara ialah organisasi manyarakat yang mempunyai daerah tertentu, dimana kekuasaan negara berlaku sepenuhnya sebagai sebuah kedaulatan.
Aristoteles 
Negara adalah perpaduan beberapa keluarga mencakupi beberapa desa, hingga pada akhirnya dapat berdiri sendiri sepenuhnya, dengan tujuan kesenangan dan kehormatan bersama.



Warga Negara

Pengertian Rakyat Negara 

Rakyat pada suatu Negara meliputi semua orang yang bertempat tinggal di dalam wilayah kekuasaan Negara dan tunduk pada kekuasaan Negara itu. 

Pada permulaan rakyat dari suatu negara hanya terdiri dari orang-orang dari satu keturunan yang berasal dari satu nenek-moyang. Dalam hal ini factor yang terpenting adalah pertalian darah. Akan tetapi wilayah Negara itu didatangi oleh orang-orang dari Negara lain yang mempunyai nenek-moyang lain pula. Selain itu, factor tempat tinggal bersama turut menentukan, apakah seseorang termasuk dalam pengertian rakyat dari Negara itu.

Adapun orang-orang yang berada di wilayah suatu Negara dapat dibagi atas: penduduk dan bukan penduduk.


Pengertian Penduduk

Penduduk ialah mereka yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu yang ditetapkan untuk sementara waktu dan yang tidak bermaksud bertempat tinggal di wilayah Negara itu. Penduduk ialah warga Negara 
Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia [Pasal 26 ayat 2, UUD 1945 (amandemen ke-2)]. 
Penduduk dapat dibagi atas:
1.       Penduduk warga Negara, dengan singkat disebut “warga Negara,” dan
2.       Penduduk bukan warga Negara yang disebut “orang asing”.

Pengertian Warga Negara

Setiap Negara biasanya menentukan dalam UU Kewarganegaraan siapa yang menjadi warga Negara dan siapa yang dianggap orang asing. Warga Negara adalah seseorang yang telah memenuhi syarat-syarat sebagai warga Negara, di Indonesia kewarganegaraan itu diatur dalam UU No. 62 tahun 1958. Dalam UUD 1945 pasal 26 dinyatakan:


·         Yang menjadi warga Negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang bangsa lain yang disahkan dengan UU sebagai warga Negara.
·         Penduduk ialah warga Negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia (amandemen ke-2).
·         Hal-hal mengenai warga Negara dan penduduk diatur dalam undang-undang.
Sedangkan menurut Undang-Undang Kewarganegaraan Indonesia (UUKI) 2006, yang dimaksud dengan warga Negara adalah warga suatu Negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Menurut UUKI 2006 (Pasal 4, 5, dan 6) mereka yang dinyatakan sebagai warga Negara Indonesia adalah:
·         Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkaan perjanjian pemerintah Republik Indonesia dengan lain sebelum undang-undang ini berlaku sudah menjadi warga Negara Indonesia (WNI)
·         Anak yang lahir dari perkawinan Yang sah dari seorang ayah dan ibu warga negara Indonesia.
·         Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga Negara Indonesia dan ibu warga Negara asing.
·         Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga Negara asing dan ibu warga Negara Indonesia.
·         Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak memiliki kewarganegaraan atau hukum Negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut.
·         Anak yang lahir dalam tenggang waktu tiga ratus (300) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya warga Negara Indonesia.
·         Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga Negara Indonesia
·         Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga Negara asing yang diakui oleh seorang ayah warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin.
·         Anak yang lahir di wilayah Negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.
·         Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah Negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui.
·         Anak yang lahir di wilayah Negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak memiliki kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya.
·         Anak yang lahir di luar wilayah Negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari Negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan.
·         Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
Selanjutnya, Pasal 5 UUKI 2006 tentang Status Anak Warga Negara Indonesia menyatakan:
1.      Anak warga Negara Indonesia yang lahir di luar perkawinan yang sah, sebelum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkwarganegaraan asing tetap diakui sebagai warga Negara Indonesia.
2.      Anak warga Negara Indonesia yang belum berusia 5 (lima) tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh warga Negara asing berdasarkan penetapan pengadilan tetap diakui sebagai warga Negara Indonesia.


Sedangkan tentang pilihan menjadi warga Negara bagi anak yang dimaksud pada pasal-pasal sebelumnya dijelaskan dalam Pasal 6 UUKI 2006, sebagai berikut:
1.      Dalam hal status kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf I, dan Pasal 5 berakibat anak berkwarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.
2.      Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dibuat secara tertulis dan disampaikan kepada pejabat dengan melampirkan dokumen sebagaimana ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan.
3.      Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) disampaikan dalam waktu paling lambat tiga (3) tahun setelah anak berusia delapan belas (18) tahun atau sudah kawin.


Hak dan Kewenangan Warga Negara

Hak dan Kewajiban Warga Negara
Berikut ini adalah beberapa contoh hak dan kewajiban kita sebagai rakyat Indonesia. Setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama satu sama lain tanpa terkecuali. Persamaaan antara manusia selalu dijunjung tinggi untuk menghindari berbagai kecemburuan sosial yang dapat memicu berbagai permasalahan di kemudian hari.
Namun biasanya bagi yang memiliki banyak uang atau tajir bisa memiliki tambahan hak dan pengurangan kewajiban sebagai warga negara kesatuan republik Indonesia.
Contoh Hak Warga Negara Indonesia:
1.       Setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan hukum
2.       Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
3.      Setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum dan di dalam pemerintahan
4.       Setiap warga negara bebas untuk memilih, memeluk dan menjalankan agama dan kepercayaan masing-masing yang dipercayai
5.       Setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran
6.       Setiap warga negara berhak mempertahankan wilayah negara kesatuan Indonesia atau nkri dari serangan musuh
7.      Setiap warga negara memiliki hak sama dalam kemerdekaan berserikat, berkumpul mengeluarkan pendapat secara lisan dan tulisan sesuai undang-undang yang berlaku
Hak–hak asasi manusia dan warga negara menurut UUD 1945 mencakup :

1.    Hak untuk menjadi warga negara (pasal 26)
2.     Hak atas kedudukan yang sama dalam hukum (pasal 27 ayat 1)
3.     Hak atas persamaan kedudukan dalam pemerintahan (pasal 27 ayat 1)
4.     Hak atas penghidupan yang layak (pasal 27 ayat 2)
5.     Hak bela negara (pasal 27 ayat 3)
6.    Hak untuk hidup (pasal 28 A)
7.    Hak membentuk keluarga (pasal 28 B ayat 1)
8.     Hak atas kelangsungan hidup dan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi bagi anak (pasal 28 B ayat 2)
9.     Hak pemenuhan kebutuhan dasar (pasal 28 C ayat 1)
10.    Hak untuk memajukan diri (pasal 28 C ayat 2)
11.    Hak memperoleh keadilan hukum (pasal 28 d ayat 1)
12.    Hak untuk bekerja dan imbalan yang adil (pasal 28 D ayat 2)
13.    Hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (pasal 28 D ayat 3)
14.     Hak atas status kewarganegaraan (pasal 28 D ayat 4)
15.     Kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak kembali (pasal 28 E ayat 1)

16.    Hak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai denga hati nuraninya (pasal 28 E ayat 2)
17.    Hak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat (pasal 28 E ayat 3)
18.     Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi (pasal 28 F)
19.    Hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda (pasal 28 G ayat 1)
20.    Hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat manusia (pasal 28 G ayat 2)
21.    Hak memperoleh suaka politik dari negara lain (pasal 28 G ayat 2)
22.     Hak hidup sejahtera lahir dan batin (pasal 28 H ayat 1)
23.     Hak mendapat kemudahan dan memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama (pasal 28 H ayat 2)
24.     Hak atas jaminan sosial (pasal 28 H ayat 3)
25.    Hak milik pribadi (pasal 28 H ayat 4)
26.    Hak untuk tidak diperbudak (pasal 28 I ayat 1)
27.    Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut (pasal 28 I ayat 1)
28.    Hak bebas dari perlakuan diskriminatif (pasal 28 I ayat 2)
29.    Hak atas identitas budaya (pasal 28 I ayat 3)
30.     Hak kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat baik lisan maupun tulisan (pasal 28)
31.    Hak atas kebebasan beragama (pasal 29)
32.     Hak pertahanan dan keamanan negara (pasal 30 ayat 1)
33.    Hak mendapat pendidikan (pasal 31 ayat 1)

HAM (HAK ASASI MANUSIA)
Deklarasi HAM Universal
Oleh: Hamid Awaludin

HARI itu, tahun 1948 di Kota San Francisco-Amerika Serikat (AS), Charles Malik, ketua delegasi Lebanon di Perserikatan Bangsa-Bangsa, mengatakan: "Kini, manusia kembali bisa menyalakan api abadi peradaban, kebebasan, dan hukum."
Malik mengemukakan itu menjelang penyusunan akhir naskah Deklarasi HAM Universal 1948, yang kelak disetujui semua wakil bangsa yang hadir dalam sidang PBB mengenai HAM (Morsink, Human Rights Quarterly 15, 1993). Malik adalah Ketua Komite Draf Hak Azasi Manusia yang membawahi 17 wakil negara, dalam sidang-sidang PBB yang khusus membahas Deklarasi HAM, yang diperingati lahirnya tiap 10 Desember.
Deklarasi HAM Universal 1948 adalah dokumen tertulis pertama tentang HAM yang diterima semua bangsa. Karena itu, Majelis Umum PBB menyebut Deklarasi HAM Universal 1948 sebagai a common standard of achievement for all peoples and nations (pencapaian yang jadi standar bersama bagi semua orang dan bangsa). Sejumlah naskah HAM tertulis memang pernah ada dan mendahului Deklarasi HAM Universal 1948. Magna Carta (Inggris, 1215), misalnya, telah berbicara tentang jaminan kebebasan individu untuk tidak dipenjarakan sewenang-wenang. Ia sudah berbicara tentang jaminan peradilan yang bebas dan fair. Bill of Rights tahun 1689 juga berbicara tentang hak-hak memilih secara bebas, kebebasan berbicara, dan hak untuk bebas dari penganiayaan Declaration of Rights 14 Oktober 1774, mengilhami Declaration of Independence Thomas Jefferson di AS yang juga telah berbicara tentang jaminan perlindungan untuk hidup, kebebasan, dan kebahagiaan. Namun, rentetan naskah itu belum menjadi naskah yang diterima secara universal (Robertson and Merrills, 1992).
Deklarasi HAM Universal 1948 diadopsi lewat Resolusi PBB No 217 (III) tahun 1948. Deklarasi HAM Universal 1948 dilahirkan di tengah reruntuhan peradaban manusia akibat Perang Dunia II dan kebrutalan monster-monster kemanusiaan, semisal Hitler, Mussolini, dan Jepang di Asia Pasifik. Selain itu, awal berlangsungnya perang dingin yang membuat polarisasi dunia yang kian menajam dan mengorbankan HAM, memicu semangat untuk membuat instrumen perlindungan HAM, yang kini kita kenal sebagai deklarasi HAM.
Sejalan dengan itu, PD II yang berahir tahun 1945, mengilhami dan memicu semangat dekolonisasi, khususnya di Asia dan Afrika. Seluruh kejadian ini membulatkan tekad warga dunia untuk membuat dataran yang bisa dipakai bersama guna menegakkan prinsip-prinsip HAM.
Deklarasi ini disebut universal karena perancangnya, secara geografis, mewakili kemajemukan etnis bangsa di muka bumi. Peserta yang amat aktif, misalnya, Charles Malik (Lebanon), Hernan Santa Cruz (Chili), Omar Loutfi (Mesir), PC Chang (Taiwan), Carlos Romulo (Filipina), Housa Mehta (India), Bogomolov (Soviet), Davies (Inggris), Roosevelt (AS), dan sebagainya.
Deklarasi ini juga dikategorikan universal karena semua negara yang saat itu hadir, menerimanya sebagai standar bersama pencapaian manusia guna melindungi martabat dan peradaban manusia.
Sejarah proses pembuatan deklarasi ditandai perdebatan sengit: apakah ia dibuat sebagai konvensi internasional yang mengikat secara hukum, atau sekadar imbauan moral dengan status deklarasi. Delegasi Cina, Soviet, AS, dan Yugoslavia, mengambil posisi, dokumen itu hanya sebatas deklarasi. Dengan demikian, ia tidak mengikat secara hukum.
Posisi yang menghendaki agar dokumen ini jadi konvensi internasional dan mengikat secara hukum, disuarakan Australia, Inggris, dan India. Mereka menghendaki agar tiap negara langsung terikat dokumen ini agar bisa sesegera mungkin berbuat sesuatu untuk melindungi martabat manusia, dan mencegah terulangnya tragedi kemanusiaan yang melatari dilahirkannya deklarasi HAM universal. Dalam kelompok ini, Inggris agak berbeda dengan lainnya, sebab kendati setuju menjadikan deklarasi ini sebagai konvensi, Inggris tidak menghendaki dicantumkannya hak-hak sosial dan ekonomi. Bagi Inggris, deklarasi ini harus berfokus pada soal-soal politik, yang paling urgen saat itu.
Di antara dua posisi yang bersilangan itu, Chili, Perancis, Mesir, dan Uruguai menempatkan diri di tengah, dengan mengombinasikan deklarasi dengan konvensi. Kelompok ini, khususnya Perancis, mengambil sikap itu dengan alasan pragmatis. Menurut Perancis, dokumen HAM tidak perlu jadi konvensi karena konvensi bersifat amat detail dan membutuhkan waktu lama untuk menyusunnya. Di saat yang sama, umat manusia sudah amat membutuhkan adanya bingkai aksi dalam hal penegakan martabat manusia. Sementara, deklarasi sudah siap dan bisa cepat menyita perhatian publik internasional. Bagi kelompok ini, dokumen HAM itu diterima dulu lalu dibuatkan konvensi nanti untuk menjabarkannya.
Selain perdebatan status dokumen, masalah substansi juga menjadi agenda perdebatan amat sengit. Hak untuk memperoleh pekerjaan misalnya, menyita waktu panjang. Ada negara menghendaki dicantumkan bahwa tiap orang berhak memperoleh pekerjaan, sementara negara-negara lain menentangnya. Hak kepemilikan, juga menjadi perdebatan seru. Australia dan Inggris menghendaki agar hak kepemilikan tidak usah dicantumkan, sementara China dan Chili berkeras memasukkannya. Setelah perdebatan, semua peserta menyetujui, kedua hak itu dimasukkan dalam naskah deklarasi.
Deklarasi yang memiliki 30 pasal ini, secara garis besar, berbicara mengenai hak-hak dan jaminan agar tiap individu bisa hidup dan tidak boleh ada satu orang pun yang leluasa membunuhnya (life), tiap individu dijamin agar tidak ada individu lain yang menyiksanya (no torture) dan kebebasan (liberty).
Untuk level operasional, Deklarasi HAM Universal 1948 dapat dibagi dalam empat kelompok besar. Pertama, penegasan prinsip yang menjadi fondasi dasar deklarasi ini bahwa tiap orang lahir dengan kebebasan dan persamaan dalam hak dan martabat.
Kedua, prinsip kesamaan dan tidak dibenarkan memberlakukan diskriminasi. Kelompok ini memberi kewajiban kepada negara untuk melindungi dan menegakkan prinsip-prinsip itu.
Ketiga, kewajiban tiap individu di masyarakat untuk menjalankan dan menegakkan HAM dan kebebasan. Keempat, larangan bagi negara, kelompok, atau individu untuk berbuat sesuatu yang bisa mencederai hak-hak dan kebebasan yang diatur dalam Deklarasi HAM Universal 1948.
Khusus bagian mukadimah, deklarasi ini berbicara tentang penegasan sikap dan pengakuan, martabat manusia adalah sesuatu yang melekat, kesamaan derajat, dan hak-hak yang melekat adalah pilar utama kebebasan, keadilan, dan perdamaian. Tanpa penghargaan atas prinsip-prinsip itu, bencana atau tragedi kemanusiaan tetap akan terus berlanjut.
Kendati deklarasi ini hanya singkat, ternyata cakupan soal yang dilindunginya cukup besar. Bahkan, ada hal-hal yang dicantumkan deklarasi tetapi tidak ada dalam Konvensi Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, misalnya, hak untuk kepemilikan, hak untuk memperoleh suaka, dan hak untuk menentukan kebangsaan (Burgenthal, 1990).
Pertanyaan yang relevan untuk diajukan ialah, apa urgensi Deklarasi HAM Universal 1948 dengan Indonesia kini?
Menyaksikan rentetan kejadian pemboman yang memilukan, deklarasi ini jelas kian urgen dan relevan untuk diaplikasikan di negeri ini. Serangkaian pemboman yang terjadi, dan terakumulasi lewat tragedi Bali, semuanya menelan korban manusia dengan cara amat keji. Orang-orang tak berdosa secara sistematis dibinasakan hanya dengan satu motif, kebencian yang melampaui akal sehat, yang dinapasi keyakinan yang bersifat absolut dan sewenang-wenang. Kejadian demi kejadian itu adalah tragedi kemanusiaan yang meruntuhkan peradaban manusia.
Ada baiknya bangsa ini kembali merenungi pasal 1 Deklarasi HAM Universal 1948: "All human beings are born free and equal in dignity and rights" (semua manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama).
Artinya, tidak boleh ada seorang pun di muka bumi yang mengklaim kebenaran untuk menafikan orang lain. Tidak ada seorang pun dengan tujuan serta motif apa pun, dibolehkan merenggut kemerdekaan, martabat, dan hak-hak orang lain. Paham absolutism, karena itu, secara absolut, tidak mendapat tempat di mana pun.
Karena tiap orang lahir dengan kemerdekaan, persamaan martabat dan hak, maka tiap orang yang mencoba memarginalkan prinsip ini, otomatis seharusnya menjadi musuh manusia. Dalam konteks ini, tindakan pengecut terorisme adalah kebiadaban yang merontokkan peradaban manusia. Karena itu, terorism cannot be condoned, but to be condemned. Di sini, patok-patok nasionalisme dengan sendirinya didentangkan lonceng kematiannya.
Dr Hamid Awaludin, Anggota Komisi Pemilihan Umum
URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0212/11/opini/43768.htm

Di dalam Undang-Undang Dasar 1945, hak asasi manusia diatur dalam pembukaan dan dalam batang tubuh. Pada pembukaan ada disebutkan tentang hak kemerdekaan. Sedangkan pada batang tubuh diatur dalam Bab X tentang Hak Asasi Manusia, sebagai berikut:

Pasal 28A
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Pasal 28B
(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Selanjutnya, dalam Pasal 28I UUD 1945 disebutkan beberapa hak sebagai berikut:

Pasal 28 I
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
(2) Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
(5) Untuk menegakan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundangan-undangan.

Sesuai Pasal 28I ayat (5), dibentuklah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, perbuatan seorang atau kelompok, termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi atau mencabut hak asasi manusia, baik seseorang atau kelompok yang dijamin oleh undang-undang dimaksud akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Pelanggaran hak asasi yang demikian, disebut pelanggaran hak asasi yang ringan. Lain halnya pelanggaran hak asasi yang berat, seperti pembunuhan massal, pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematik. Berdasarkan hal tersebut, dibentuklah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau suatu lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, atau mediasi hak asasi manusia. Pembentukan lembaga ini bertujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Demikian juga untuk tujuan meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.

Adapun ruang lingkup hak asasi manusia, sebagaimana disebutkan Zainuddin Ali (2006:91-92), adalah sebagai berikut:

1) setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya.
2) setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada.
3) setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
4) setiap orang tidak boleh diganggu yang merupakan hak yang berkaitan dengan kehidupan pribadi di dalam tempat kediamannya.
5) setiap orang berhak atas kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan komunikasi melalui sarana elektronik tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan undang-undang.
6) setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, penghilangan paksa, dan penghilangan nyawa.
7) setiap orang tidak boleh ditangkap, ditekan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang.
8) setiap orang berhak hidup dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman, dan tenteram, yang menghormati, melindungi dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia sebagaimana diatur dalam undang-undang.

Berdasarkan pengertian dan ruang lingkup hak asasi manusia tersebut, dapat dipahami bahwa di negara Republik Indonesia yang berdasar atas hukum, amat menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Di dalam Tap MPR No. IV/MPR/1999, Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999-2004 halaman enam belas, diungkapkan bahwa peningkatan pemahaman dan penyadaran, serta peningkatan perlindungan, penghormatan, dan penegakan hak asasi manusia dalam seluruh aspek kehidupan, dan penyelesaian berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang belum ditangani secara tuntas.
Salah satu hak yang diatur UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia adalah mengenai hak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif. Dalam Pasal 3 ayat (1) disebutkan bahwa diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya. Hak Asasi Manusia (HAM), yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai hak-hak mendasar pada diri manusia, harus menjadi akar dari negara, menghormati perbedaan, menerima keanekaragaman, menerima hubungan, serta menghargai hubungan gender. Kondisi yang diperlukan adalah negara harus konsisten terhadap konstitusi, hak-hak dasar, persamaan lelaki dan perempuan, persamaan antara muslim dan non-muslim.
Penegakan hak asasi manusia ini merupakan hal penting bagi negara Indonesia. Oleh karena itu, selain dimuat dalam UUD’45 dan dijabarkan melalui UU. No. 39 Tahun 1999, juga dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM). Keseriusan pemerintah menegakkan HAM ini juga dapat diperhatikan dengan adanya Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pengadilan HAM ini merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Kedudukan Pengadilan HAM ini berada di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutanRuang lingkup kewenangan pengadilan Ham, menurut UU No. 26 Tahun 2000 pasal 4-6, yaitu: Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat; Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia; dan Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun pada saat kejahatan dilakukan.
Peraturan perundang-undangan yang diberlakukan di Indonesia juga harus senantiasa mencerminkan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), dengan kata lain tidak boleh bertentangan dengan HAM sebagaimana yang telah diatur dalam konstitusi (UUD 1945), karena HAM ialah hak-hak yang melekat pada manusia yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.

Konstitusi (UUD 1945) telah memberikan pengaturan tentang HAM sebagai berikut:
a. Personal Right (pasal 28 dan pasal 29)
b. Property Right (pasal 33)
c. Right of Legal Equality (pasal 27 ayat 1)
d. Political Right (pasal 27 ayat 1 dan pasal 28)
e. Sosial and Culture Right (pasal 31, pasal 32, pasal 34)
f. Procedural Right (pasal 27 ayat 1)

Amandemen kedua UUD 1945 telah memberikan perubahan terhadap pengaturan HAM di Indonesia. Kalau sebelum amandemen kedua pengaturan HAM dalam UUD 1945 diatur secara terpisah, namun pasca amandemen kedua, UUD 1945 telah mengatur HAM secara lebih sistematis dalam satu bab, yaitu di dalam pasal 28A sampai dengan Pasal 28J UUD 1945. Pasal tersebut telah menjadi landasan konstitusional bagi perlindungan HAM di Indonesia.
Pengertian HAM seperti yang dikemukakan oleh Jan Matersondari (komisi hak asasi manusia PBB), dalam Ari Wibowo (2008:3), ialah hak-hak yang melekat pada manusia yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Menurut Burhanuddin Lopa, dalam Ari Wibowo (2008:3), pada kalimat “mustahil dapat hidup sebagai manusia” hendaklah diartikan “mustahil dapat hidup sebagai manusia yang bertanggung jawab”. Alasan ditambahkan kata “tanggung jawab” tersebut ialah disamping manusia memiliki hak, juga memiliki tanggung jawab atas segala yang dilakukannya.
Dalam alinea kedua dari Declaration of Independence of the united state of America yang dideklarasikan oleh The Representative of The United State of Americadalam general kongres assembly pada tanggal 4 Juli 1776 tertulis antara lain sebagai berikut (Ari Wibowo, 2008:4):

“We hold these truths to be self-evident, that all men are created equel; that there are endowed by their creater with certain unalianable rights; that among these are life, liberty ang the pursuit of happiness”

Kalau kita menyimak kutipan di atas, di antara berbagai hak-hak dasar atau hak asasi manusia diantaranya yang disebut secara tegas yakni persamaan hak, hak hidup, hak kebebasan dan hak mengejar atau mencari kebahagiaan.

Macam-macam HAM menurut Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 antara lain:
a. Hak untuk hidup
b. Hak mengembangkan diri
c. Hak memperoleh keadilan
d. Hak atas kebebasan pribadi
e. Hak atas rasa aman
f. Hak atas kesejahteraan
g. Hak urut serta dalam pemerintahan

Franklin D. Rosevelt, dalam Ari Wibowo (2008:4), pada permulaan perang dunia II merumuskan adanya empat hak, yaitu:
a. Freedom of speech (Kebebasan untuk berbicara dan mengemukaan pendapat)
b. Freedom of Religion (Kebebasan beragama)
c. Fredom of Fear (Kebebasan dari ketakutan)
d. Freedom of Want (Kebebasan dari kemelaratan)

Kemudian pada tahun 1946, Commition on Human Right (PBB) menetapkan secara terperinci beberapa hak ekonomi dan sosial, disamping hak-hak politik. Penetapan ini dilanjutkan pada tahun 1948 dengan disusun pernyataan sedunia tentang hak-hak asasi manusia (Universal Declaration of Human Right) pada tanggal 10 Desember 1948.
Dalam diskursus penegakkan HAM Internasional, ada konvensi internasional tentang HAM yang menjadi panutan negara di dunia, yaitu International Convenant on Civil and Political Right-ICCPR (Perjanjian Internasional tentang Hak Hak Sipil dan Politik) dan International Convenant on Economic, Social, and Cultural Right-ICESCR (Konvenan Internasional tentang Hak Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. ICCPR telah diratifikasi oleh Indonesia dan dituangkan dalam Undang Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Civil and Political Right, dan ICESCR juga telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang No. 11 tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Economic, Social, and Cultural Right.

Konsep hak asasi manusia ini, menurut Ari Wibowo (2008:5) memiliki dua dimensi (dimensi ganda), yaitu:

1) Dimensi universalitas, yakni substansi hak-hak asasi manusia itu pada hakekatnya bersifat umum dan tidak terikat oleh waktu dan tempat. Hak asasi manusia akan selalu dibutuhkan oleh siapa saja dan dalam aspek kebudayaan dimana pun itu berada, entah itu dalam kebudayaan barat maupun timur. Dimensi hak asasi manusia seperti ini pada hakekatnya akan selalu dibutuhkan dan menjadi sarana bagi individu untuk mengekspresikan secara bebas dalam ikatan kehidupan kemasyarakatan. Dengan kata lain hak asasi itu ada karena yang memiliki hak-hak itu adalah manusia sebagai manusia.
2) Dimensi kontekstualitas, yakni menyangkut penerapan hak asasi manusia bila ditinjau dari tempat berlakunya hak-hak asasi manusia tersebut. Maksudnya adalah ide-ide hak asasi manusia dapat diterapkan secara efektif, sepanjang “tempat” ide-ide hak asasi manusia itu memberikan suasana kondusif untuk itu. Dengan kata lain ide-ide hak asasi manusia akan dapat dipergunakan secara efektif dan menjadi landasan etik dalam pergaulan manusia, jikalau struktur kehidupan masyarakat entah itu di barat ataupun di timur sudah tidak memberikan tempat bagi terjaminnya hak individu yang ada di dalamnya.

Dua dimensi inilah yang memberikan pengaruh terhadap pelaksanaan ide-ide hak asasi manusia di dalam komunitas kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Oleh sebab itu dengan adanya dua dimensi ini, maka perdebatan mengenai pelaksanaan ide-ide hak asasi manusia yang diletakkan dalam konteks budaya, suku, ras maupun agama sudah tidak mempunyai tempat lagi atau tidak relevan dengan wacana publik masyarakat modern.

DEMOKRASI
Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). Istilah ini berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία – (dēmokratía) "kekuasaan rakyat", yang dibentuk dari kata δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (Kratos) "kekuasaan", merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM. Istilah demokrasi diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan orang banyak (rakyat). Abraham Lincoln dalam pidato Gettysburgnya mendefinisikan demokrasi sebagai "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". Hal ini berarti kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi ada di tangan rakyat dan rakyat mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama di dalam mengatur kebijakan pemerintahan. Melalui demokrasi, keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak.
Demokrasi terbentuk menjadi suatu sistem pemerintahan sebagai respon kepada masyarakat umum di Athena yang ingin menyuarakan pendapat mereka. Dengan adanya sistem demokrasi, kekuasaan absolut satu pihak melalui tirani, kediktatoran dan pemerintahan otoriter lainnya dapat dihindari. Demokrasi memberikan kebebasan berpendapat bagi rakyat, namun pada masa awal terbentuknya belum semua orang dapat mengemukakan pendapat mereka melainkan hanya laki-laki saja. Sementara itu, wanita, budak, orang asing dan penduduk yang orang tuanya bukan orang Athena tidak memiliki hak untuk itu.
Di Indonesia, pergerakan nasional juga mencita-citakan pembentukan negara demokrasi yang berwatak anti-feodalisme dan anti-imperialisme, dengan tujuan membentuk masyarakat sosialis. Bagi Gus Dur, landasan demokrasi adalah keadilan, dalam arti terbukanya peluang kepada semua orang, dan berarti juga otonomi atau kemandirian dari orang yang bersangkutan untuk mengatur hidupnya, sesuai dengan apa yang dia inginkan. Masalah keadilan menjadi penting, dalam arti setiap orang mempunyai hak untuk menentukan sendiri jalan hidupnya, tetapi hak tersebut harus dihormati dan diberikan peluang serta pertolongan untuk mencapai hal tersebut.

JENIS-JENIS PEMERINTAHAN DEMOKRASI DI DUNIA
Secara resmi, demokrasi sudah dijadikan dasar bagi kebanyakan pemerintahan negara-negara di dunia. Namun dalam perwujudannya, terdapat bermacam-macam jenis demokrasi menurut kondisi dalam negeri negara yang bersangkutan. Jenis-jenis demokrasi yang ada di dunia saat ini adalah:

1.      Demokrasi Presidentil.
Demokrasi presidetil disebut juga sebagai demokrasi presidensial. Dalam demokrasi presidensial, orang-orang yang menjalankan pemerintahan (para menteri dalam susunan kabinet presidensial) bertanggungjawab kepada presiden karena yang memilih menteri-menteri itu adalah presiden.
Negara yang menganut sistem demokrasi presidensial antara lain negara Pakistan pada masa pemerintahan Presiden Ayub Khan tahun 1960. Negara Indonesia sejak tahun 1966 hingga sekarang juga menjalankan demokrasi presidentil.
2.      Demokrasi Parlementer.
Dalam demokrasi parlementer, orang-orang yang menjalankan pemerintahan (eksekutif) bertanggungjawab kepada parlemen dan kekuasaan legislatif (DPR) berada di atas kekuasaan eksekutif. Para menteri kabinet bertanggungjawab kepada badan legislatif. Kabinet harus mendapat kepercayaan dari DPR dan DPR dapat memberikan mosi tidak percaya kepada kabinet.
Negara yang menjalankan demokrasi parlementer dalam pemerintahan mereka antara lain Belgia, Belanda, Perancis dan Indonesia pada masa Demokrasi Liberal (tahun 1950 sampai 1959).
3.       Demokrasi dengan sistem pemisahan kekuasaan.
Sistem demokrasi dengan pemisahan kekuasaan hampir sepenuhnya diterapkan di negara Amerika Serikat. Kekuasaan legislatif dipegang oleh Kongres, kekuasaan eksekutif dipegang oleh Presiden, sedangkan kekuasaan yudikatif dipegang oleh Mahkamah Agung.
Masing-masing badan berdiri sendiri dan terpisah satu sama lain. Kekuasaan yang diberikan pada setiap badan dibatasi untuk mencegah penumpukan kekuasaan. Antar lembaga negara bekerja dengan saling mengawasi sehingga terjadi keseimbangan diantara lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif.

4.      Demokasi melalui referendum dan inisiatif rakyat.
Referendum adalah pemungutan suara rakyat mengenai suatu rencana pemberlakukan undang-undang. Sistem demokrasi melalui referendum ini berlaku di negara Swiss. Setiap wilayah administratif di Swiss disebut sebagai kanton.
Kanton-kanton tersebut berbentuk republik yang masing-masing kanton memiliki kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dalam praktek demokrasi di negara Swiss, tugas legislatif berada di bawah pengawasan rakyat. Pengawasan oleh rakyat dilakukan melalui referendum. Referendum dibagi menjadi dua, yaitu referendum obligator dan referendum fakultatif.
Referendum obligator atau referendum wajib adalah pemungutan suara rakyat yang wajib dilakukan untuk suatu rencana undang-undang dasar negara bagian atau undang-undang lain yang dianggap penting. Sedangkan referendum fakultatif adalah pemungutan suara rakyat mengenai rencana undang-undang yang tidak diharuskan, kecuali jika pada masa tertentu setelah rencana undang-undang itu diumumkan sejumlah rakyat meminta diadakan referendum kembali
Sumber             :  http://ppkngiesta.blogspot.com/