Nama : Mutia handayani
NPM :
35412173
Kelas :1ID01
Seiring dengan perkembangan zaman,
kebudayaan umat manusia pun mengalami perubahan. Menurut para pemikir post
modernis dekonstruksi, dunia tak lagi berada dalam dunia kognisi, atau dunia
tidak lagi mempunyai apa yang dinamakan pusat kebudayaan sebagai tonggak
pencapaian kesempurnaan tata nilai kehidupan. Hal ini berarti semua kebudayaan
duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, dan yang ada hanyalah pusat-pusat
kebudayaan tanpa periferi. Sebuah kebudayaan yang sebelumnya dianggap pinggiran
akan bisa sama kuat pengaruhnya terhadap kebudayaan yang sebelumnya dianggap
pusat dalam kehidupan manusia modern.
Wajah kebudayaan yang sebelumnya dipahami
sebagai proses linier yang selalu bergerak ke depan dengan berbagai
penyempurnaannya juga mengalami perubahan. Kebudayaan tersebut tak lagi sekadar
bergerak maju tetapi juga ke samping kiri, dan kanan memadukan diri dengan
kebudayaan lain, bahkan kembali ke masa lampau kebudayaan itu sendiri.
Lokalitas kebudayaan karenanya menjadi tidak
relevan lagi dan eklektisme menjadi norma kebudayaan baru. Manusia cenderung
mengadaptasi berbagai kebudayaan, mengambil sedikit dari berbagai keragaman
budaya yang ada, yang dirasa cocok buat dirinya, tanpa harus mengalami
kesulitan untuk bertahan dalam kehidupan.
Perubahan tersebut dikenal sebagai perubahan
sosial atau social change. Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan
budaya, namun perubahannya hanya mencakup kesenian, ilmu pengetahuan,
teknologi, filsafat, kecuali organisasi sosial masyarakatnya. Perubahan sosial
tersebut bardampak pada munculnya semangat-semangat untuk menciptakan produk
baru yang bermutu tinggi dan hal inilah yang menjadi dasar terjadinya revolusi
industri, serta kemunculan semangat asketisme intelektual. Menurut Prof
Sartono, asketisme dan expertise ini merupakan
kunci kebudayaan akademis untuk menuju budaya yang bermutu.
Sebagai homo faber, manusia
mencipta dan bekerja, untuk memperoleh kepuasan atau self fulfillment.
Dalam kaca mata agama dan unsur untuk beribadah, suatu orientasi kepada
kepuasan batin dan menuju ke arah sesuatu yang transendental. Di sinilah yang
disebut etos bangsa itu muncul.
Sebenarnya etos bangsa kita juga sudah
banyak disinggung oleh para pujangga seperti dalam “Serat Wedatama” karya
Mangkunegoro IV yang disebutnya sebagai etos “mesu budi”. Etos
ini merupakan suatu ajakan untuk mementingkan penampilan yang bermutu baik
lahir, maupun batin, atau kalau dalam bahasa modern disebut juga etos
intelektual.
Kemudian, etos intelektual inilah yang
mendorong masyarakat untuk terus berkarya dan terus menciptakan hal-hal baru
guna meningkatkan kemakmuran hidupnya, sehingga masyarakat tersebut menjadi
masyarakat yang modern. Sedangkan proses menjadi masyarakat yang modern disebut
dengan istilah Modernisasi. Jadi dengan kata lain, modernisasi
ialah suatu proses transformasi total, suatu perubahan masyarakat dalam segala
aspeknya.
·
Faktor-faktor yang Mendorong Perubahan Masyarakat MenjadiMasyarakat yang Modern
1. perkembangan
ilmu
2.perkembangan
teknologi
3.perkembangan
industri
4.perkembangan
ekonomi
·
Gejala-gejala Modernisasi :
1. Bidang IPTEK
Gejala Modernisasi di
bidang IPTEK ditandai dengan adanya penemuan dan pembaharuan unsur teknologi
baru yang dapat meningkatkan kemakmuran masyarakat.
2. Bidang Ekonomi
Gejala Modernisasi di
bidang Ekonomi ialah meningkatnya produktivitas ekonomi dan efisiensi sumber
daya yang tersedia, serta pemeanfaatan SDA yang memperhatikan kelestarian alam
sekitar.
3. Bidang
Politik dan Idiologi
Pada bidang ini, gejala
modern ditandai dengan adanya system pemerintahan perwakilan yang demokratis,
pemerintah yang diawasi dan dibatasi kekuasaanya, dihormati hak-hak asasinya
serta dijaminnya hak-hak sosial.
4. Bidang
Agama dan Kepercayaan
Gejala Modernisasi di
bidang Agama dan Kepercayaan ditandai dengan adanya pengembangan nalar (rasio)
dan kebahagiaan kebendaan (materi), yang pada akhirnya akan menimbulkan paham
sekularisasi dan sekularisme.
·
Pengertian Masyarakat Modern
Masyarakat modern adalah masyarakat yang
sebagian besar warganya mempunyai orientasi nilai budaya yang terarah ke
kehidupan dalam peradaban masa kini. Pada umumnya masyarakat modern tinggal di
daerah perkotaan, sehingga disebut masyarakat kota. Namun tidak semua
masyarakat kota tidak dapat disebut masyarakat modern,sebab orang kota tidak
memiliki orientasi ke masa kini, misalnya gelandangan.
·
Ciri-ciri Masyarakat Modern
1. Hubungan
antar manusia terutama didasarkan atas kepentingan-kepentingan pribadi.
2. Hubungan
dengan masyarakat lain dilakukan secara terbuka dengan suasana yang saling
memepengaruhi
3. Keprcayaan
yang kuat akan Ilmu Pengetahuan Teknologi sebagai sarana untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat
4. Masyarakatnya
tergolong ke dalam macam-macam profesiyang dapat dipelajari dan ditingkatkan
dalam lembaga pendidikan, keterampilan dan kejuruan
5. Tingkat
pendidikan formal pada umumnya tinggi dan merata.
6. Hukum
yang berlaku adalah hukum tertulis yang sangat kompleks
7. Ekonomi
hamper seluruhnya merupakan ekonomi pasar yang didasarkanatas penggunaan
uangdan alat-alat pembayaran lain.
·
Masyarakat Modern dilihat dari berbagai
Aspek
§
Aspek Mental Manusia :
1. Cenderung didasarkan pada pola pikirserta pola perilaku
rasionalatau logis, dengan cirri-cirimenghargai karya orang lain, menghargai
waktu, menghargai mutu, berpikir kreatif, efisien, produktif percaya pada diri
sendiri, disiplin, dan bertanggung jawab.
2. Memiliki sifat keterbukaan, yaitu dapat menerima pandangan dan
gagasan orang lain.
§ Aspek Teknologi :
1. Teknologi merupakan factor utama untuk menunjang kehidupan kearah
kemajuan atau modernisasi.
2. Sebagai hasil ilmu pengetahuan dengan kemampuan produksi dan
efisiensi yang tinggi.
§
Aspek Pranata Sosial :
I. Pranata Agama :
Relatif kurang terasa
dan tampak dalam kehidupan sehari-hari, diaibatkan karena sekularisme
II. Pranata Ekonomi :
1. Bertumpu pada sektor Indusri Pembagian kerja yang lebih tegas dan memiliki batas-batas yang nyata.
2. Pembagian kerja berdasarkan usia dan jenis kelamin kurang terlihat.
3. Kesamaan kesempatan kerja antar priadan wanita sangat tinggi.
4. Kurang mengenal gotong-royong.
5. Diobedakan menjadi tiga fungsi, yaitu: produksi distribusi, dan
konsumsi.
6. Hampir semua kebutuhan hidupmasyarakat diperoleh melalui pasar
dengan menggunakan uang sebagai alat tukar yang sah.
III. Pranata Keluarga :
1. Ikatan kekeluargaan sudah mulai lemahdan longgar, karena cara hidup
yang cenderung inidividualis.
2. Rasa solidaritas berdasarkan kekerabatan umumnya sudah mulai
menipis.
IV. Pranata Pendidikan :
Tersedianya fasilitas
pendidikan formal mulai dari tingkat rendah hingga tinggi, disamping pendidikan
keterampilan khusus lainnya.
V. Pranata Politik :
Adanya pertumbuhan dan
berkembangnya kesadaran berpolitik sebagai wujud demokratisasi masyarakat.
·
Gambaran Umum Kehidupan Masyarakat Modern
Pada kehidupan masyarakat modern, kerja
merupakan bentuk eksploitasi kepada diri, sehingga mempengaruhi pola ibadah,
makan, dan pola hubungan pribadi dengan keluarga.
Sehingga dalam kebudayaan industri dan
birokrasi modern pada umumnya, dipersonalisasi menjadi pemandangan sehari-hari.
Masyarakat modern mudah stres dan muncul penyakit-penyakit baru yang berkaitan
dengan perubahan pola makanan dan pola kerja.
Yang terjadi kemudian adalah
dehumanisasi dan alienasi atau keterasingan, karena dipacu oleh semangat kerja
yang tinggi untuk menumpuk modal. Berger menyebutnya sebagai “lonely
crowd” karena pribadi menemukan dirinya amat kuat dalam kehidupan
bermasyarakat. Dalam kebudayaan industrialisasi, terus terjadi krisis. Pertama,
kosmos yang nyaman berubah makna karena otonomisasi dan sekularisasi sehingga
rasa aman lenyap. Kedua masyarakat yang nyaman dirobek-robek karena individu
mendesakkan diri kepada pusat semesta, ketiga nilai kebersamaan goyah, keempat
birokrasi dan waktu menggantikan tokoh mistis dan waktu mitologi.
Para penganut paham pascamodern seperti
Lyotard pernah mengemukakan perlunya suatu jaminan meta-sosial, yang dengannya
hidup kita dijamin lebih merdeka, bahagia, dan sebagainya. Khotbah agung-nya
(metanarasi) ini mengutamakan perlunya new sensibility bagi
masyarakat yang terjebak dalam gejala dehumanisasi budaya modern.
Kebiasaan dari masyarakat modern adalah
mencari hal-hal mudah, sehingga penggabungan nilai-nilai lama dengan kebudayaan
birokrasi modern diarahkan untuk kenikmatan pribadi. Sehingga, munculah
praktek-peraktek kotor seperti nepotisme, korupsi, yang menyebabkan penampilan
mutu yang amat rendah.
·
Kebudayaan Modern
Proses akulturasi di Negara-negara
berkembang tampaknya beralir secara simpang siur, dipercepat oleh usul-usul
radikal, dihambat oleh aliran kolot, tersesat dalam ideologi-ideologi, tetapi
pada dasarnya dilihat arah induk yang lurus: ”the things of humanity all
humanity enjoys”. Terdapatlah arus pokok yang dengan spontan menerima
unsur-unsur kebudayaan internasional yang jelas menguntungkan secara positif.
Akan tetapi pada refleksi dan dalam
usaha merumuskannya kerap kali timbul reaksi, karena kategori berpikir belum
mendamaikan diri dengan suasana baru atau penataran asing. Taraf-taraf
akulturasi dengan kebudayaan Barat pada permulaan masih dapat diperbedakan,
kemudian menjadi overlapping satu kepada yang lain sampai pluralitas, taraf,
tingkat dan aliran timbul yang serentak. Kebudayaan Barat mempengaruhi
masyarakat Indonesia, lapis demi lapis, makin lama makin luas lagi dalam
(Bakker; 1984).
Apakah kebudayaan Barat modern semua
buruk dan akan mengerogoti Kebudayaan Nasional yang telah ada? Oleh karena itu,
kita perlu merumuskan definisi yang jelas tentang Kebudayaan Barat Modern.
Menurut para ahli kebudayaan modern dibedakan menjadi tiga macam yaitu:
a. Kebudayaan Teknologi Modern
Pertama kita harus membedakan antara Kebudayan Barat Modern dan Kebudayaan
Teknologis Modern. Kebudayaan Teknologis Modern merupakan anak Kebudayaan
Barat. Akan tetapi, meskipun Kebudayaan Teknologis Modern jelas sekali ikut
menentukan wujud Kebudayaan Barat, anak itu sudah menjadi dewasa dan sekarang
memperoleh semakin banyak masukan non-Barat, misalnya dari Jepang.
Kebudayaan Tekonologis Modern merupakan sesuatu yang kompleks.
Penyataan-penyataan simplistik, begitu pula penilaian-penilaian hitam putih
hanya akan menunjukkan kekurangcanggihan pikiran. Kebudayaan itu kelihatan
bukan hanya dalam sains dan teknologi, melainkan dalam kedudukan dominan yang
diambil oleh hasil-hasil sains dan teknologi dalam hidup masyarakat: media
komunikasi, sarana mobilitas fisik dan angkutan, segala macam peralatan rumah
tangga serta persenjataan modern. Hampir semua produk kebutuhan hidup
sehari-hari sudah melibatkan teknologi modern dalam pembuatannya.
Kebudayaan Teknologis Modern itu kontradiktif. Dalam arti tertentu dia
bebas nilai, netral. Bisa dipakai atau tidak. Pemakaiannya tidak mempunyai
implikasi ideologis atau keagamaan. Seorang Sekularis dan Ateis, Kristen
Liberal, Budhis, Islam Modernis atau Islam Fundamentalis, bahkan segala macam
aliran New Age dan para normal dapat dan mau memakainya, tanpa mengkompromikan
keyakinan atau kepercayaan mereka masing-masing. Kebudayaan Teknologis Modern
secara mencolok bersifat instumental.
b. Kebudayaan Modern Tiruan
Dari kebudayaan Teknologis Modern perlu dibedakan sesuatu yang mau saya
sebut sebagai Kebudayaan Modern Tiruan. Kebudayaan Modern Tiruan itu terwujud
dalam lingkungan yang tampaknya mencerminkan kegemerlapan teknologi tinggi dan
kemodernan, tetapi sebenarnya hanya mencakup pemilikan simbol-simbol lahiriah
saja, misalnya kebudayaan lapangan terbang internasional, kebudayaan
supermarket (mall), dan kebudayaan Kentucky Fried Chicken (KFC).
Di lapangan terbang internasional orang dikelilingi oleh hasil teknologi
tinggi, ia bergerak dalam dunia buatan: tangga berjalan, duty free shop dengan
tawaran hal-hal yang kelihatan mentereng dan modern, meskipun sebenarnya tidak
dibutuhkan, suasana non-real kabin pesawat terbang; semuanya artifisial,
semuanya di seluruh dunia sama, tak ada hubungan batin.
Kebudayaan Modern Tiruan hidup dari ilusi, bahwa asal orang bersentuhan
dengan hasil-hasil teknologi modern, ia menjadi manusia modern. Padahal dunia
artifisial itu tidak menyumbangkan sesuatu apapun terhadap identitas kita.
Identitas kita malahan semakin kosong karena kita semakin membiarkan diri
dikemudikan. Selera kita, kelakuan kita, pilihan pakaian, rasa kagum dan
penilaian kita semakin dimanipulasi, semakin kita tidak memiliki diri sendiri.
Itulah sebabnya kebudayaan ini tidak nyata, melainkan tiruan, blasteran.
Anak Kebudayaan Modern Tiruan ini adalah Konsumerisme: orang ketagihan
membeli, bukan karena ia membutuhkan, atau ingin menikmati apa yang dibeli,
melainkan demi membelinya sendiri. Kebudayaan Modern Blateran ini, bahkan
membuat kita kehilangan kemampuan untuk menikmati sesuatu dengan
sungguh-sungguh. Konsumerisme berarti kita ingin memiliki sesuatu, akan tetapi
kita semakin tidak mampu lagi menikmatinya. Orang makan di KFC bukan karena
ayam di situ lebih enak rasanya, melainkan karena fast food dianggap gayanya
manusia yang trendy, dan trendy adalah modern.
c. Kebudayaan-Kebudayaan Barat
Kita keliru apabila budaya blastern kita samakan dengan Kebudayaan Barat
Modern. Kebudayaan Blastern itu memang produk Kebudayaan Barat, tetapi bukan
hatinya, bukan pusatnya dan bukan kunci vitalitasnya. Ia mengancam Kebudayaan
Barat, seperti ia mengancam identitas kebudayaan lain, akan tetapi ia belum
mencaploknya. Italia, Perancis, spayol, Jerman, bahkan barangkali juga Amerika
Serikat masih mempertahankan kebudayaan khas mereka masing-masing. Meskipun di
mana-mana orang minum Coca Cola, kebudayaan itu belum menjadi Kebudayaan Coca
Cola.
Orang yang sekadar tersenggol sedikit dengan kebudayaan Barat palsu itu,
dengan demikian belum mesti menjadi orang modern. Ia juga belum akan mengerti
bagaimana orang Barat menilai, apa cita-citanya tentang pergaulan, apa selera
estetik dan cita rasanya, apakah keyakinan-keyakinan moral dan religiusnya,
apakah paham tanggung jawabnya (Suseno; 1992).
·
Tantangan Kebudayaan Masyarakat Modern
1.
Kebudayaan Modern Tiruan
Tantangan yang sungguh-sungguh mengancam
kita adalah Kebudayaan Modern Tiruan. Dia mengancam justru karena tidak sejati,
tidak substansial. Yang ditawarkan adalah semu. Kebudayaan itu membuat kita
menjadi manusia plastik, manusia tanpa kepribadian, manusia terasing, manusia
kosong, manusia latah.
Kebudayaan Blasteran Modern bagaikan
drakula: ia mentereng, mempunyai daya tarik luar biasa, ia lama kelamaan
meyedot pandangan asli kita tentang nilai, tentang dasar harga diri, tentang
status. Ia menawarkan kemewahan-kemewahan yang dulu bahkan tidak dapat kita
impikan. Ia menjanjikan kepenuhan hidup, kemantapan diri, asal kita mau
berhenti berpikir sendiri, berhenti membuat kita kehilangan penilaian kita
sendiri. Akhirnya kita kehabisan darah , kehabisan identitas. Kebudayaan modern
tiruan membuat kita lepas dari kebudayaan tradisional kita sendiri, sekaligus
juga tidak menyentuh kebudayaan teknologis modern sungguhan (Suseno;1992)
2. Bagaimana Memberi Makan, Sandang, dan Rumah
Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa,
budaya adalah perjuangan manusia dalam mengatasi masalah alam dan zaman.
Permasalahan yang paling mendasar bagi manusia adalah masalah makan, pakaian
dan perumahan. Ketika orang kekurangan gizi bagaimana ia akan mendapat orang
yang cerdas. Ketika kebutuhan pokok saja tidak terpenuhi bagaimana orang akan
berpikir maju dan menciptakan teknologi yang hebat. Jangankan untuk itu,
permasalahan pemenuhan kebutuhan kita sangat mempengaruhi pola hubungan di
antara manusia. Orang rela mencuri bahkan membunuh agar ia bisa makan sesuap
nasi. Sehingga, kelalaian dalam hal ini bukan hanya berdampak pada kemiskinan,
kelaparan, kematian, akan tetapi akan berpengaruh dalam tatanan budaya-sosial
masyarakat.
3. Masalah Pendidikan yang Tepat
Pendidikan masih menjadi permasalahan yang menjadi perhatian serius jika
bangsa ini ingin dipandang dalam percaturan dunia. Ada fenomena yang menarik
terkait dengan hal ini, yaitu mengenai kolaborasi kebudayaan dengan pendidikan,
dalam artian bagaimana sistem pendidikan yang ada mengintrinsikkan kebudayaan
di dalamnya. Dimana ada suatu kebudayaan yang menjadi spirit dari sistem
pendidikan yang kita terapkan.
4. Mengejar Kemajuan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Problem ini beranjak ketika kita sampai saat ini masih menjadi konsumen
atas produk-produk teknologi dari negara luar. Situasi keilmiahan kita belum
berkembang dengan baik dan belum didukung oleh iklim yang kondusif bagi para
ilmuan untuk melakukan penelitian dan penciptaan produk-produk, teknologi baru.
Jika kita tetap mengandalkan impor produk dari luar negeri, maka kita akan terus
terbelakang. Oleh karena itu, hal ini tantangan bagi kita untuk mengejar
ketertinggalan iptek dari negara-negara maju.
5. Kondisi Alam Global
Beberapa waktu yang lalu di halaman
depan harian Kompas tanggal 12 April 2007, ada berita menarik mengenai keadaan
bumi hari ini, ’Pemanasan Global, Jutaan Orang akan Teracam”. Pemanasan global
akan memberi dampak negatif yang nyata bagi kehidupan ratusan juta warga di
dunia. Demikianlah antara lain isi laporan kedua PBB yang sudah dipublikasikan
tahun 2007. Laporan pertama berisikan bukti ilmiah perubahan iklim, sedangkan
laporan ketiga akan membeberkan tindakan untuk menanganinya.
Laporan para pakar yang tergabung dalam
Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) dibeberkan dalam jumpa pers
secara serentak di berbagai belahan dunia, Selasa (10/04/2007). Laporan setebal
1.572 halaman itu ditulis dan dikaji 441 anggota IPCC.
Salah satu dampak pemanasan global
adalah meningkatnya suhu permukaan bumi sepanjang lima tahun mendatang. Hal itu
akan mengakibatkan gunung es di Amerika Latin mencair. Dampak lanjutannya
adalah kegagalan panen, yang hingga tahun 2050 mengakibatkan 130 juta penduduk
dunia, terutama di Asia, kelaparan. Pertanian gandum di Afrika juga akan
mengalami hal yang sama.
Laporan itu menggarisbawahi dampak
pemanasan global berupa meningkatnya permukaan laut, lenyapnya beberapa spesies
dan bencana nasional yang makin meningkat. Disebutkan, 30% garis pantai di
dunia akan lenyap pada 2080. Lapisan es di kutub mencair hingga terjadi aliran
air di kutub utara. Hal itu akan mengakibatkan terusan Panama terbenam.
Naiknya suhu memicu topan yang lebih
dasyat hingga mempengaruhi wilayah pantai yang selama ini aman dari gangguan
badai. Banyak tempat yang kini kering makin kering, sebaliknya berbagai tempat
basah akan semakin basah. Kesenjangan distribusi air secara alami ini akan
berpotensi meningkatkan ketegangan dalam pemanfaaatan air untuk kepentingan
industri, pertanian dan penduduk.
Asia menjadi bagian dari bumi yang akan
paling parah. Perubahan iklim yang tak terdeteksi akan menjadi bencana
lingkungan dan ekonomi, dan buntutnya adalah tragedi kemanusiaan. Laporan itu
mengingatkan, setiap kenaikan suhu udara 2 derajat celsius, antara lain akan
menurunkan produksi pertanian di Cina dan Bangladesh hingga 30 persen hingga
2050. Kelangkaan air meningkat di India seiring dengan menurunya lapisan es di
Pegunungan Himalaya. Sekitar 100 juta warga pesisir di Asia pemukimannya
tergenang karena peningkatan permukaan laut setinggi antara 1 milimeter hingga
3 milimeter setiap tahun. Saat ini, pemanasan global sudah terasa dengan
terjadinya kematian dan punahnya spesies di Afrika dan Asia
·
Dampak Negatif dari budaya Masyarakat Modern
1. Penyalahgunaan media teknologi sebagai sarana pencarian hal-hal
yang tidak ada hubungannya dengan ilmu pengetahuan.
2. Timbulnya praktek-peraktek curang dalam dunia kerja seperti
korupsi, kolusi dan nepotisme.
3. Sekularisasi adalah sebuah proses pemisahan institusi-institusi dan
simbol-simbol politis dari initusi-institusi dan simbol-simbol religius.
Kebijakan-kebijakan Negara yang mengatur sebuah masyarakat tidak lagi
didasarkan pada norma-norma agama, melainkan pada asas-asas non-religius,
seperti: etika dan pragmatisme politik. Kelahiran Negara nasional dan Negara
konstitusional di zaman modern menandai proses ini. Konstitusi Negara modern
tidak lagi didasarkan pada doktrin-doktrin religius, seperti pada Negara-negara
tradisional di Eropa abad pertengahan, melainkan pada prosedur-prosedur
birokratis rasional yang mengakui kesamaan hak dan kebebasan setiap
warganegara. Mengapa masyarakat modern menempuh jalan sekularisasi? Karena
(1) Otoritas politis
tidak merasa cukup dengan wewenangnya atas wilayah publik dan ingin juga
memberikan regulasi dalam ruang privat seperti yang dilakukan oleh otoritas
religius; dan
(2) pikiran kritis
dicurigai sebagai unsur ‘subversif’ yang melemahkan kepatuhan kepada otoritas.
Sekularisasi adalah upaya memberi batas-batas di antara kedua bidang itu dengan
memandang keduanya otonom, yakni yang satu tidak dapat direduksi kepada yang
lain. Dengan sekularisasi, urusan-urusan religius dianggap beroperasi di dalam
ruang privat, tercakup dalam kebebasan subjektif individu untuk menemukan jalan
hidupnya. Efek positif sekularisasi adalah toleransi agama, sebab
doktrin-doktrin dan nilai-nilai religius tidak lagi dikalkulasi di dalam
politik.
Kita berbicara tentang sekularisme jika kita memusatkan perhatian kita pada efek negatif sekularisasi. Sekularisasi dapat mendorong pada ekstrem atau ekses, yakni suatu sikap berlebih-lebihan untuk menyingkirkan segala alasan, motif atau dimensi religius sebagai omong kosong. Pandangan-pandangan seperti ateisme, materialisme dan saintisme merupakan berbagai aspek dalam sekularisme. Sekularisme dalam arti ini bukanlah sebuah proses sosial-epistemologis, melainkan sebuah ideologi dengan kesempitan berpikir yang tidak dapat mentoleransi eksistensi agama di dalam masyarakat majemuk. Jika agama menghasilkan fundamentalisme religius, proses sekularisasi juga dapat menghasilkan suatu fundamentalisme tertentu, yakni fundamentalisme profane. Itulah sekularisme.
Jadi, di sini kita dapat mengatakan bahwa sekularisasi adalah proses yang wajar di dalam modernisasi, karena pemisahan antara agama dan Negara memang diperlukan untuk memungkinkan kebebasan dan keadilan dalam masyarakat majemuk, namun sekularisme harus diwaspadai. Untuk masyarakat kita yang cenderung religius, sekularisme bukanlah ancaman real; fundamentalisme agamalah yang merupakan ancaman real bagi kemajemukan. Yang sebaliknya juga harus dikatakan: Sekularisme bukanlah solusi untuk masalah kemajemukan, sebab sekularisme adalah bentuk intoleransi terhadap agama manaupun yang merupakan anggota masyarakat majemuk. Yang dibutuhkan masyarakat kita adalah tingkat sekularisasi tertentu (baik secara structural maupun kultural) agar dapat bersikap “fair” terhadap kemajemukan orientasi nilai di dalam masyarakat kita. Kebijakan-kebijakan politis yang berorientasi agama tertentu, misalnya, tidak dapat begitu saja dijadikan norma publik untuk mengatur keseluruhan masyarakat, karena akan bersikap tidak fair terhadap kelompok-kelompok lain bahkan dalam agama yang sama.
Kita berbicara tentang sekularisme jika kita memusatkan perhatian kita pada efek negatif sekularisasi. Sekularisasi dapat mendorong pada ekstrem atau ekses, yakni suatu sikap berlebih-lebihan untuk menyingkirkan segala alasan, motif atau dimensi religius sebagai omong kosong. Pandangan-pandangan seperti ateisme, materialisme dan saintisme merupakan berbagai aspek dalam sekularisme. Sekularisme dalam arti ini bukanlah sebuah proses sosial-epistemologis, melainkan sebuah ideologi dengan kesempitan berpikir yang tidak dapat mentoleransi eksistensi agama di dalam masyarakat majemuk. Jika agama menghasilkan fundamentalisme religius, proses sekularisasi juga dapat menghasilkan suatu fundamentalisme tertentu, yakni fundamentalisme profane. Itulah sekularisme.
Jadi, di sini kita dapat mengatakan bahwa sekularisasi adalah proses yang wajar di dalam modernisasi, karena pemisahan antara agama dan Negara memang diperlukan untuk memungkinkan kebebasan dan keadilan dalam masyarakat majemuk, namun sekularisme harus diwaspadai. Untuk masyarakat kita yang cenderung religius, sekularisme bukanlah ancaman real; fundamentalisme agamalah yang merupakan ancaman real bagi kemajemukan. Yang sebaliknya juga harus dikatakan: Sekularisme bukanlah solusi untuk masalah kemajemukan, sebab sekularisme adalah bentuk intoleransi terhadap agama manaupun yang merupakan anggota masyarakat majemuk. Yang dibutuhkan masyarakat kita adalah tingkat sekularisasi tertentu (baik secara structural maupun kultural) agar dapat bersikap “fair” terhadap kemajemukan orientasi nilai di dalam masyarakat kita. Kebijakan-kebijakan politis yang berorientasi agama tertentu, misalnya, tidak dapat begitu saja dijadikan norma publik untuk mengatur keseluruhan masyarakat, karena akan bersikap tidak fair terhadap kelompok-kelompok lain bahkan dalam agama yang sama.
4. Liberalisme adalah ideologi modern, karena ia muncul bersamaan
dengan modernisasi dan segala pertentangan ideologis dalam masyarakat modern
tak lain daripada pertentangan dengan liberalisme, sehingga cerita tentang
modernitas tak kurang daripada cerita tentang liberalisme dan para lawannya.
Dalam arti ini, liberalisme sangat sensitif terhadap kolektivisme dan
absolutisme kekuasaan. Ekonomi tidak dapat tumbuh jika terus diintervensi
Negara, maka liberalisme sejak awal mendukung ekonomi pasar bebas. Di dalam pasar
orang tidak bertransaksi dengan membeda-bedakan latar-belakang agama dan
kebudayaan. Yang penting transaksi itu fair. Dengan kata lain, di dalam
transaksi orang melihat agama partner transaksinya sebagai urusan privatnya
yang tidak relevan untuk proses pertukaran dalam pasar. Pola transaksi yang
melihat agama sebagai persoalan privat yang tidak relevan untuk proses
pertukaran itu oleh liberalisme diaplikasikan di dalam hubungan yang lebih
luas, yaitu di dalam Negara modern. Liberalisme ekonomi mengandung bahaya
tertentu, yaitu intoleransi terhadap mereka yang dimarginalisasikan secara
ekonomis oleh mekanisme pasar bebas itu. Namun liberalisme yang berkaitan
dengan pendirian intelektual dan sikap-sikap politis justru membantu sebuah
masyarakat untuk toleran terhadap kemajemukan. Jika Negara berkonsentrasi pada
the problem of justice dan tidak mengintervensi the problem of good life yang
adalah kewenangan kelompok-kelompok dalam masyarakat itu, Negara akan menjadi
milik bersama kelompok-kelompok sosial itu dan tidak bersikap diskriminatif.
Negara liberal berupaya bersikap netral terhadap agama-agama di dalamnya, dan
ini justru mendukung kebebasan individu. Di sini liberalisme dapat juga dilihat
sebagai hasil dari sekularisasi yang tidak secara mutlak perlu bermuara pada
sekularisme. Artinya, suatu Negara liberal tidak harus sekularistis, yakni
ingin menyingkirkan agama di dalamnya. Negara liberal juga bisa memiliki respek
terhadap agama, namun regulasi-regulasinya tetap sekular. Ia bersikap netral
dari agama, namun memberi infrastruktur yang adil bagi agama-agama untuk
berkembang, sebab para anggota agama-agama itu adalah juga warganegaranya.
5. Pluralisme adalah sebuah pandangan yang beroperasi di dalam
kebudayaan dalam bentuk sikap-sikap yang menerima kemajemukan
orientasi-orientasi nilai di dalam masyarakat modern. Dasar pluralisme adalah
the fact of plurality, yakni suatu kenyataan bahwa jika sebuah masyarakat
mengalami modernisasi, masyarakat itu mengalami pluralisasi nilai di dalam
dirinya. Pluralitas tidak serta merta memunculkan pluralisme, karena tidak
semua orang setuju pluralitas. Kaum konservatif dan rmonatis, misalnya, akan
meratapi pluralitas sebagai sindrom disintegrasi sosial dan moral. Namun ada
kelompok-kelompok yang menerima pluralitas sebagai kenyataan hidup bersama dan
mencoba hidup bersama secara toleran. Kelompok-kelompok ini bisa berasal dari
kalangan agama, cendikia, politikus atau budayawan. Pandangan yang menerima
pluralitas sebagai realitas hidup bersama dan mencoba mengembangkan sarana-sarana
moral dan intelektual untuk membuka ruang kebebasan dan toleransi bagi aneka
orientasi nilai etnis, religius ataupun poltis di dalam mayarakat modern itu
kita sebut pluralisme.
Jika kita menilik ke belakang, ke dalam sejarah agama-agama itu, kita tidak dapat memisahkan agama dari kebudayaan. Setiap agama “tertanam” dan tumbuh dalam konteks kebudayaan dan juga sejarahnya, maka pluralitas juga menandai sejarah setiap agama. Tidak ada hanya satu Kristen, satu Hindhu, satu Islam atau satu Budhisme, karena di tiap kebudayaan berkembang cara-cara dan simbol-simbol spesifik dalam menghayati Tuhan. Simbol-simbol itu bahkan ‘dipinjam’ dari konteks kebudayaan tertentu, misalnya, Jawa, Romawi, India atau Arab. Namun tak semua kelompok agama mau bersikap fair terhadap fakta pluralitas di dalam agama-agama ini. Kelompok-kelompok macam ini – di antara mereka konservatif garis keras – terobsesi pada sebuah fiksi bahwa agama mereka itu homogen dan murni dari unsur-unsur kebudayaan. Fiksi itu sudah barang tentu berbahaya sekali karena menjadi intoleran terhadap kemajemukan kebudayaan dan agama. Kelompok-kelompok agama yang menerima fakta kemajemukan bahkan di dalam agama mereka sendiri serta mencoba mengembangkan sebuah teologi pluralis sering dicurigai sebagai sesuatu yang morongrong integritas iman, padahal mereka ini bisa saja justru mendorong cara-cara beriman yang dewasa dan terbuka terhadap perubahan dan perbedaan di dalam masyarakat modern.
Jika kita menilik ke belakang, ke dalam sejarah agama-agama itu, kita tidak dapat memisahkan agama dari kebudayaan. Setiap agama “tertanam” dan tumbuh dalam konteks kebudayaan dan juga sejarahnya, maka pluralitas juga menandai sejarah setiap agama. Tidak ada hanya satu Kristen, satu Hindhu, satu Islam atau satu Budhisme, karena di tiap kebudayaan berkembang cara-cara dan simbol-simbol spesifik dalam menghayati Tuhan. Simbol-simbol itu bahkan ‘dipinjam’ dari konteks kebudayaan tertentu, misalnya, Jawa, Romawi, India atau Arab. Namun tak semua kelompok agama mau bersikap fair terhadap fakta pluralitas di dalam agama-agama ini. Kelompok-kelompok macam ini – di antara mereka konservatif garis keras – terobsesi pada sebuah fiksi bahwa agama mereka itu homogen dan murni dari unsur-unsur kebudayaan. Fiksi itu sudah barang tentu berbahaya sekali karena menjadi intoleran terhadap kemajemukan kebudayaan dan agama. Kelompok-kelompok agama yang menerima fakta kemajemukan bahkan di dalam agama mereka sendiri serta mencoba mengembangkan sebuah teologi pluralis sering dicurigai sebagai sesuatu yang morongrong integritas iman, padahal mereka ini bisa saja justru mendorong cara-cara beriman yang dewasa dan terbuka terhadap perubahan dan perbedaan di dalam masyarakat modern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar