Rabu, 05 November 2014

PANCASILA DALAM ETIKA POLITIK

                                                              
1.1               Pengertian Etika
Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata 'etika' yaituethos sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu : tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan. Arti dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya istilah Etikayang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis (asal usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (K.Bertens, 2000).
            Etika adalah kelompok filsafat praktis (filsafat yang membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada) dan dibagi menjadi dua kelompok. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran tertentu atau bagaimana kita bersikap dan bertanggung jawab dengan berbagai ajaran moral. Kedua kelompok etika yaitu, Etika Umum dan Etika Khusus.
1.      Etika Umum, mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia. Pemikiran etika beragam, tetapi pada prinsipnya membicarakan asas-asas dari tindakan dan perbuatan manusia, serta system nilai apa yang terkandung didalamnya.
2.      Etika khusus, membahas prinsip-prinsip tersebut diatas dalam hubungannya dengan berbagai aspek kehidupan manusia, baik  sebagai individu (etika individual) maupun makhluk sosial (etika sosial). Etika khusus dibagi menjadi 2 macam yaitu Etika Individual dan Etika Sosial.
3.      Etika Individual membahas kewajiban manusia terhadap dirinya sendiri dan dengan kepercayaan agama yang dianutnya serta kewajiban dan tanggung jawabnya terhadap Tuhannya.
4.      Etika Sosial membahas norma-norma sosial yang harus dipatuhi dalam hubungannya dengan manusia, masyarakat, bangsa dan Negara.
1.2               Hubungan Etika dengan Filsafat
            Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha mengkaji segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada dengan menggunakan pikiran. Bagian-bagiannya meliputi:
1.      Metafisika yaitu kajian dibalik alam yang nyata,
2.      Kosmologia yaitu kajian tentang alam,
3.      Logika yaitu pembahasa tentang cara berpikir cepat dan tepat,
4.      Etika yaitu pembahasan tentang tingkah laku manusia,
5.      Teologi yaitu pembahasan tentang ketuhanan,
6.      Antropologi yaitu pembahasan tentang manusia.
            Dengan demikian, jelaslah bahwa etika termasuk salah satu komponen dalam filsafat. Banyak ilmu yang pada mulanya merupakan bagian dari filsafat, tetapi karena ilmu tersebut kian meluas dan berkambang, akhirnya membentuk disiplin ilmu tersendiri dan terlepas dari filsafat.Demikian juga etika, dalam proses perkembangannya sekalipun masih diakui sebagai bagian dalam pembahasan filsafat, ia merupakan ilmu yang mempunyai identitas sendiri.   Hubungan etika dengan ilmu filsafat menurut Ibnu Sina seperti indera bersama, estimasi dan rekoleksasi yang menolong jiwa manusia untuk memperoleh konsep-konsep dan ide-ide dari alam sekelilingnya. Jika manusia telah mencapai kesempurnaan sebelum ia berpisah dengan badan, maka ia selamanya akan berada dalam kesenangan. Jika ia berpisah dengan badan dalam keadaan tidak sempurna, ia selalu dipengaruhi hawa nafsu. Ia hidup dalam keadaan menyesal dan terkutuk untuk selama-lamanya di akhirat.
            Pemikiran filsafat tentang jiwa yang dikemukakan Ibnu Sina memberi petunjuk dalam pemikiran filsafat terhadap bahan-bahan atau sumber yang dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi konsep ilmu etika. Ibn Khaldun dalam melihat manusia mendasarkan pada asumsi-asumsi kemanusiaan yang sebelumnya lewat pengetahuan yang ia peroleh dalam ajaran Islam. Ia melihat sebagai mekhluk berpikir. Lewat kemampuan berfikirnya itu, manusia tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga menaruh perhatian pada berbagai cara guna memperoleh makna hidup. Proses-proses semacam ini melahirkan peradaban. Dalam pemikiran ilmu, Ibn Khaldun tampak bahwa manusia adalah makhluk budaya yang kesempurnaannya baru akan terwujud manakla ia berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Ini menunjukan tentang perlunya pembinaan manusia, termasuk dalam membina etika. Gambaran tentang manusia yang terdapat dalam pemikiran filosofis itu akan memberikan masukan yang amat berguna dalam merancang dan merencanakan tentang cara-cara membina manusia, memperlakukannya, dan berkomunikasi dengannya. Dengan cara demikian akan tercipta pola hubungan yang dapat dilakukan dalam menciptakan kehidupan yang aman dan damai.
            Etika sebagai cabang filsafat dapat dipahami bahwa istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai ketentuan baik atau buruk. Etika memiliki objek yang sama dengan filsafat, yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan manusia. Filsafat sebagai pengetahuan berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya berdasarkan pikiran. Jika ia memikirkan pengetahuan jadilah ia filsafat ilmu, jika memikirkan etika jadilah filsafat etika.
1.3               Hakikat Etika Filsafat
            Etika filsafat sebagai cabang ilmu, melanjutkan kecenderungan seseorang dalam hidup sehari-hari. Etika filsafat merefleksikan unsur-unsur tingkah laku dalam pendapat-pendapat secara sepontan. Kebutuhan refleksi itu dapat dirasakan antara lain karena pendapat etik tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain. Etika filsafat dapat didefinisikan sebagai refleksi kritis, metodis dan sistematis tentang tingkah laku manusia dari sudut norma-norma susila atau dari sudut baik atau buruk. Dari sudut pandang normatif, etika filsafat merupakan wacana yang khas bagi perilaku kehidupan manusia, dibandingkan dengan ilmu lain yang juga membahas tingkah laku manusia.
            Etika filsafat termasuk salah satu cabang ilmu filsafat dan malah dikenal sebagai salah satu cabang filsafat yang paling tua. Dalam konteks filsafat yunani kuno etika filsfat sudah terbentuk terbentuk dengan kematangan yang mengagumkan. Etika filsafat merupakan ilmu, tetapi sebagai filsafat ia tidak merupakan suatu ilmu emperis, artinya ilmu yang didasarkan pada fakta dan dalam pembicaraannya tidak pernah meniggalkan fakta. Ilmu-ilmu itu bersifat emperis, karena seluruhna berlangsung dalam rangka emperis (pengalaman inderawi) yaitu apa yang dapat dilihat, didengar, dicium, dan dirasakan. Ilmu emperis berasal dari observasi terhadap fakta-fakta dan jika ia berhasil merumuskan hukum-hukum ilmiah, maka kebenaran hukum-hukum itu harus diuji lagi dengan berbalik kepada fakta-fakta. Dibandingkan dengan ilmu-ilmu lain, etika filsafat tidak membatasi gejala-gejala konkret. Tentu saja, filsafat berbicara juga tentang yang konkret, kadang-kadang malah tentang hal-hal yang amat konkret, tetapi ia tidak berhenti di situ.
            Pada awal sejarah timbulnya ilmu etika, terdapat pandangan bahwa pengetahuan bener tentang bidang etika secara otomatis akan disusun oleh perilaku yang benar juga. Itulah ajaran terkenal dari sokrates yang disebut Intelektualisme Etis. Menurut sokrates orang yang mempunyai pengetahuan tentang baik pasti akan melakukan kebaikan juga. Orang yang berbuat jahat, dilakukan karena tidak ada pengetahuan mendalam mengenai ilmu etika, makanya ia berbuat jahat. Apabila dikemukakan secara radikal begini, ajaran itu sulit untuk dipertahankan. Bila orang mempunyai pengetahuan mendalam mengenai ilmu etika, belum terjamin perilakunya baik. Orang-orang yang hampir tidak mendapat pendidikan di sekolah, tetapi selalu hidup dengan perilaku baik dengan sangat mengagumkan. Namun demikian, ada kebenarannya juga dalam pendapat sokrates tadi, pengethuan tentang etika merupakan suatu unsur penting, supaya orang dapat mencapai kematangan perilaku yang baik. Untuk memperoleh etika baik, studi tentang etika dapat memberikan suatu kontribusi yang berarti sekalipun studi itu sendiri belum cukup untuk menjamin etika baik dapat terlaksana secara tepat.
            Etika filsafat juga bukan filsafat praktis dalam arti ia menyajikan resep-resep yang siap pakai. Buku etika tidak berupa buku petunjuk yang dapat dikonsultasikan untuk mengatasi kesulitan etika buruk yang sedang dihadapi. Etika filsafat merupakan suatu refleksi tentang teman-teman yang menyangkut perilaku. Dalam etika filsafat diharapkan semua orang dapat menganalisis tema-tema pokok seperti hati nurani, kebebasan, tanggung jawab, nilai, norma, hak, kewajiban, dan keutamaan.
            Etika tidak memberikan ajaran melainkan memeriksa kebiasaan, nilai, norma, dan pandangan-pandangan moral secara kritis. Etika tidak membiarkan pendapat-pendapat moral yang dikemukakan dipertanggungjawabkan. Etika berusaha untuk menjernihkan permasalahan moral, sedangkan kata moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolak ukur untuk menentukan betul salahnya sikap dan tindakkan manusia dilihat dari segi baik buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas.

1.4               Etika Pancasila
            Etika merupakan cabang ilmu filsafat yang membahas masalah baik dan buruk. Adapun refleksi filsafati mengajarkan bagaimana tentang moral filsafat mengajarkan bagaimana tentang moral tersebut dapat dijawab secara rasional dan bertanggungjawab. Rumusan Pancasila yang otentik dimuat dalam Pembukan UUD 1945 alinea keempat. Dalam penjelasan UUD 1945 yang disusun oleh PPKI ditegaskan bahwa “pokok-pokok pikiran yang termuat dalam Pembukaan (ada empat, yaitu persatuan, keadilan, kerakyatan dan ketuhanan menurut kemanusiaan yang adil dan beradab) dijabarkan ke dalam pasal-pasal Batang Tubuh.
            Dan menurut TAP MPRSNo.XX/MPRS/1966 dikatakan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum. Sebagai sumber segala sumber, Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum. Sebagai sumber segala sumber, Pancasila merupakan satu-satunya sumber nilai yang berlaku di tanah air. Dari satu sumber tersebut diharapkan mengalir dan memancar nilai-nilai ketuhanan, kemanusian, persatuan, kerakyatan penguasa. Hakikat Pancasila pada dasarnya merupakan satu sila yaitu gotong royong atau cinta kasih dimana sila tersebut melekat pada setiap insane, maka nilai-nilai Pancasila identik dengan kodrat manusia. oleh sebab itu penyelenggaraan Negara yang dilakukan oleh pemerintah tidak boleh bertentangan dengan harkat dan martabat manusia, terutama manusia yang tinggal di wilayah nusantara.
            Pancasila sebagai core philosophy bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,   juga meliputi   etika yang sarat dengan nilai-nilai   filsafati;   jika memahami Pancasila tidak dilandasi dengan pemahaman segi-segi filsafatnya, maka yang ditangkap   hanyalah   segi-segi filsafatnya,   maka yang ditangkap hanyalah segisegi fenomenalnya saja, tanpa menyentuh inti hakikinya. Pancasila merupakan hasil kompromi nasional dan pernyataan resmi bahwa bangsa Indonesia menempatkan kedudukan setiap warga negara secara sama, tanpa membedakan antara penganut agama mayoritas maupun   minoritas. Selain   itu juga tidak membedakan   unsur   lain seperti gender,   budaya,   dan daerah.
            Nilai-nilai Pancasila bersifat universal yang memperlihatkan napas humanism, karenanya Pancasila dapat dengan mudah diterima oleh siapa saka. Sekalipun Pancasila memiliki sifat universal, tetapi tidak begitu saja dapat dengan mudah diterima oleh semua bangsa. Perbedaannya terletak pada fakta sejarah bahwa nilai-nilai secara sadar dirangkai dan disahkan menjadi satu kesatuan yang berfungsi sebagai basis perilaku politik dan sikap moral bangsa. Dalam arti bahwa Pancasila adalah milik khas bangsa Indonesia dan sekaligus menjadi identitas bangsa berkat legitimasi moral dan budaya bangsa Indonesia sendiri. Nilai-nilai khusus yang termuat dalam Pancasila dapat ditemukan dalam sila-silanya. Pancasila sebagai nilai dasar yang fundamental adalah seperangkat nilai yang terpadu berkenaan dengan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Apabila kita memahami pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, yang pada hakikatnya adalah nilai-nilai Pancasila.
            Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dapat dinyatakan sebagai pokok-pokok kaidah Negara yang fundamental, karena di dalamnya terkandung pula konsep-konsep sebagai sebagai berikut:
1.      Dasar-dasar pembentukan Negara, yaitu tujuan Negara, asas politik Negara (Negara Republik Indonesia dan berkedaulatan rakyat), dan Negara asas kerohanian Negara (Pancasila).
2.      Ketentuan diadakannya undang-undang dasar, yaitu “….. maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam suatu undang-undang dasar Negara Indonesia…”. Hal ini menunjukkan adanya sumber hukum.
            Nilai dasar yang fundamental suatu Negara dalam hukum mempunyai   hakikat dan kedudukan yang tetap kuat dan tidak berubah, dalam arti dengna jalan hukum apapun tidak mungkin lagi untuk dirubah. Berhubung Pembukaan UUD 1945 itu memuat nilai-nilai dasar yang fundamental, maka Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya terdapat Pancasila tidak dapat diubah secara hukum. Apabila terjadi perubahan berarti pembubaran Negara Proklamasi 17 Agustus 1945. Tataran nilai yang terkandung   dalam Pancasila sesuai dengan system nilai dalam kehidupan manusia.   Secara   teoritis nilai-nilai Pancasila dapat dirinci menurut jenjang dan jenisnya.
1.      Menurut jenjangnya sebagai berikut:
a.       Nilai Religius, Nilai ini menempati nilai yang tertinggi dan melekat / dimiliki Tuhan Yang Maha Esa yaitu nilai yang Maha Agung, Maha Suci, Absolud yang tercermin pada Sila pertama Pancasila yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”
b.      Nilai Spiritual, nilai ini melekat pada manusia, yaitu budi pekerti, perangai, kemanusiaan dan kerohanian yang tercermin pada sila kedua Pancasila yaitu ”Kemanusiaan yang adil dan beradab”.
c.       Nilai Vitalitas, nilai ini melekat pada semua makhluk hidup,   yaitu mengenai daya hidup, kekuatan hidup dan pertahanan hidup semua makhluk. Nilai ini tercermin pada sila ketiga dan keempat dalam Pancasila yaitu “Persatuan Indonesia” dan “Kerakyatan   yang   dipimpin   oleh   hikmah   kebijaksanaan   dalam permusyawaratan / perwakilan”.
d.      Moral, nilai ini melekat pada prilaku hidup semua manusia, seperti asusila, perangai, akhlak, budi pekerti, tata adab, sopan santun, yang tercermin pada sila kedua Pancasila yaitu “Kemanusiaan yang adil dan Beradab”. e. Nilai Materil, nilai ini melekat pada semua benda-benda   dunia.   Yang wujudnya   yaitu jasmani,   badani,   lahiriah,   dan kongkrit.   Yang tercermin   dalam sila   kelima Pancasila yakni “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
2.      Menurut jenisnya sebagai berikut:
a.       Nilai Ilahiah, nilai yang dimiliki Tuhan Yang Maha Esa, yang melekat pada manusia yaitu berwujud harapan, janji, keyakinan, kepercayaan, persaudaraan, persahabatan
b.      Nilai Etis, nilai yang dimiliki dan melekat pada manusia,   yaitu berwujud keberanian, kesabaran, rendah hati, murah hati, suka menolong, kesopanan, keramahan
c.       Nilai Estetis, nilai yang melekat pada semua makhluk duniawi, yaitu berupa keindahan, seni, kesahduan, keelokan, keharmonisan.
d.      Nilai Intelek, nilai yang melekat pada makhluk   manusia,   berwujud   ilmiah, rasional, logis, analisis, akaliah. Selanjutnya secara konsepsional nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila terdiri dari nilai dasar, nilai instrumental, nilai praksis.
e.       Nilai dasar, merupakan prinsip yang bersifat sangat Abstrak, umum-universal dan tidak terikat   oleh   ruang   dan   waktu.   Dengan kandungan   kebenaran   bagaikan Aksioma,   berkenaan dengan eksistensi,   sesuai cita-cita,   tujuan,   tatanan dasar dan ciri khasnya yang pada dasarnya tidak berubah sepanjang zaman.
Aktualisasi Pancasila sebagai dasar etika tercermin dalam sila-silanya, yaitu
1.      Sila pertama:
Menghormati setiap orang atau warga negara atas berbagaikebebasannya dalam menganut agama dan kepercayaannya masing- masing,   serta   menjadikan   ajaran-ajaran   sebagai anutan   untuk   menuntun ataupun mengarahkan jalan hidupnya.
2.      Sila kedua:
Menghormati   setiap orang dan warga negara sebagai pribadi (personal) “utuh sebagai manusia”, manusia sebagai subjek pendukung, penyangga, pengemban, serta pengelola hak-hak dasar kodrati yang merupakan suatu keutuhan dengan eksistensi dirinya secara bermartabat.
3.      Sila ketiga:Bersikap   dan   bertindak   adil     dalam   mengatasi   segmentasi- segmentasi atau primordialisme sempit dengan jiwa dan semangat “Bhinneka Tunggal Ika”-“bersatu dalam perbedaan” dan “berbeda dalam persatuan”.
4.      Sila keempat:
Kebebasan, kemerdekaan, dan kebersamaan dimiliki dan dikembangkan dengan dasar musyawarah untuk mencapai kemufakatan secara jujur dan terbuka dalam menata berbagai aspek kehidupan.
5.      Sila kelima:
Membina dan mengembangkan masyarakat yang berkeadilan sosial yang mencakup kesamaan derajat (equality) dan pemerataan (equity) bagi setiap orang atau setiap warga negara.

Sila-sila dalam Pancasila merupakan satu kesatuan integral dan integrative menjadikan dirinya sebagai sebagai referensi kritik sosial kritis, komprehensif, serta sekaligus evaluatif bagi etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa ataupun bernegara. Konsekuensi dan implikasinya ialah bahwa norma etis yang mencerminkan satu sila akan mendasari dan mengarahkan sila-sila lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar